selamat

Selamat datang di smp takhasus tumiyang sumber ilmunya daerah pekuncen dan sekitarnya, terima kasih atas kunjungan anda

Kamis, 14 April 2011

Pertentangan Sekte Hukum Islam

POLARISASI AHL AL- HADITH DAN AHL AL-RA’Y
Oleh : Abu Zacky Muhyiddin Dawoed
A. Pendahuluan
Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madhhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadis dalam memahami ayat-ayat al-Qur'a>n dan kelompok kedua, adalah mereka yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl al-ra'y. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan dipelopori Imam Ma>lik bin Anas dan kelompok kedua berkembang di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu> Hani>fah. Fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi tempat kepada hadis-hadis meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional. Imam Sha>fi'i> sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.
Dalam hal ini, penulis akan menulis tentang polarisasi atau pertentangan kedua orientasi fiqh ini, namun sebelum itu, penulis membagi bahasan-bahasan pokok yang terkait dengan makalah ini, yaitu; terdiri dari beberapa bab :
A. PENDAHULUAN
B. PENGERTIAN DAN DEFINISI AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
C. SEJARAH HUKUM ISLAM DAN TIMBULNYA MADHHAB-MADHHAB
D. KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHUSUS DAN SUMBER HUKUM AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
E. POLARISASI AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
F. PENUTUP
G. DAFTAR PUSTAKA
B. PENGERTIAN AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
Istilah Ahl al-Hadith dan Ahl al-Ra’y dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam lebih diarahkan pada perbedaan pendekatan dalam memahami dan menginterpretaskan nas}-nas} hukum. Ahl al-hadith kelompok fuqaha> yang dalam beristimbat banyak menyandarkan pada informasi teks (naqliy) dan menempatkan akal tidak lebih sebagai instrumen yang bersifat sekunder dalam proses istimba>t} hukum. Sedangkan ahl al-ra’y adalah merupakan kelompok fuqaha> yang intensitas penggunaan akal/ra’yu-nya lebih kuat dan dominan dalam melakukan istimba>t} hukum. Lebih lengkapnya penulis akan menjelaskan pengertian kedua madrasah ini secara lebih spesifik.
1) Devinisi Ahl al-Hadi>th
Untuk kelompok pertama; Madrasat Ahl al-Hadith juga sering disebut dengan Madrasat al-Madi>nah atau Madrasat al- Hija>z (dinisbatkan kepada Kota dimana madzhab ini lahir dan berkembang). Dinamakan Madrasah Ahl al-Hadits dikarenakan banyaknya periwayatan hadith diantara mereka dikota Hijaz, karena kurang dibutuhkannya menggunakan al-ra’y dalam Ijtihad dan karena belum ada persoalan-persoalan yang rumit. Al-Shahrasta>ni> mengatakan :
“Mereka menyebut dengan nama as}ha>b al-hadith (demikian al-Shahrasta>ni> menyebut) dikarenakan perhatian mereka dalam pencarian hadith-hadith, periwayatannya serta memberikan pondasi hukum-hukum dalam koridor teks-teks. Mereka tidak merujuk kepada qiyas selama mereka menemukan al-hadith atau al-athar” .
2) Defenisi Ahl al-Ra’y
Kata al-ra’y dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari fi’il; رأى – يرى رؤية و رأيا yang berarti; opini, pemikiran, pendapat atau konsep. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, bahwa kalimat al-ra’y adalah masdar dengan menggunakan maknanya isim maf’ul (al-ra’y; obyek/hasil apa yang dipikirkan) . Sedangkan untuk kalangan pakar hukum islam adalah pemikiran yang mendalam atau penggunaan nalar dalam kasus-kasus hukum yang tidak ada penjelasan teksnya. Dikalangan para sahabat kalimat al-ra’y sering digunakan untuk istilah hasil ijtihad-ijtihad mereka yang bedasarkan maslahat , qiya>s , istihsa>n dan lain sebagainya, dan juga berarti penafsiran teks-teks dan penjelasan tentang wajh al-dila>lah (orientasi makna), sebagaimana ungkapan Abu> Bakar r.a tentang makna al-Kala>lah; “saya berkata dengan pendapatku (al-ra’y) bahwa makna al-kala>lah adalah; selain anak ataupun ayah”. Adapun al-ra’y secara terminologi (istilah) Dr. Sayyid Muhammad Musa Tuwa>na mengungkapkan banyak berbedaan tentang pemaknaan al-ra’y , ialah :
Pertama : al-Imam Fakhr al-Razy berkata; al-ra’y adalah qiya>s, karena bila kita katakan pada seseorang; “anda berbicara dengan dasar pendapatmu (ra’yuka) atau dengan dasar teks?” , hal ini menunjukan bahwa kedua kata tersebut saling behadapan atau kontradiksi, dimana al-ra’y adalah pengambilan hujjah yang tidak melalui teks-teks baik eksplisit maupun implisit . Imam al-Sarakhshi> mengatakan bahwa al-ra’y tidak tidak menjadi hujjah penentuan hukum secara independen, akan tetapi ia adalah perangkat untuk menjembatani hukum yang berdasarkan nash/teks dengan padanannya (al-Naz}ir) yang tidak memilki nas} . Dan mereka yang meniadakan qiya>s mendefinisikan bahwa al-ra’y yang dimaksud dan dicaci para sahabat adalah qiya>s, sebagaimana ungkapan Umar r.a : “Jangan sampai kalian menjadi ashab al-ra’y, karena mereka adalah musuh sunnah-sunnah Nabi, dimana hadits-hadits tidak bisa dihitung oleh mereka, namun mereka berbicara dengan al-ra’y, mereka adalah sesat dan menyesatkan” . Sedangkan mereka yang memakai qiyas memberikan pemaknaan al-ra’y yang terdapat dalam perkataan-perkataan para sahabat Nabi yang mereka sendiri telah melakukannya, adalah qiya>s, sebagaimana ungkapan Ibnu Mas’u>d r.a : “Saya berbicara tentangnya dengan pendapatku (al-ra’y), bila benar, maka itu sejatinya dari allah swt, bila salah, maka itu adalah dari setan, sedangkan Allah swt dan Utusan-Nya bebas dari pendapat itu ”. Hal ini telah menjadi hujjah tentang qiya>s bagi mereka berupa konsensus para sahabat Nabi atas diperkenankannya melaksanakan al-ra’y, dan al-ra’y bagi mereka adalah qiyas.
Ketiga : ada yang mengatakan al-ra’y adalah bentuk ijtiha>d selain qiya>s, juga ijtiha>d dengan berdasar teks-teks yang tidak pasti dila>lah-nya, adapula berarti; ijtihad dengan berdasarkan teks-teks, berpegang dengan kaidah al-bara’ah al-ashliyyah (hukum asal) dan berpegang dengan asas maslahat dan iht}iya>t (asas kehati-hatian) , dan ada pula yang mengatakan bahwa al-ra’y adalah sesuatu yang bisa menjembatani untuk bisa sampai pada hukum melalui pencarian dalil (istidla>l) dan qiya>s. Karena itu ketika ada dila>lah atau orientasi makna yang pasti, sebagaimana dilalah ijma>’ ataupun hukum yang memiliki teks maka tidak dikatakan al-ra’y .
Demikian pula al-Imam al-Dahlawi> berpendapat bahwa al-ra’y adalah penyamaan sesuatu yang serupa dengan yang sama yang memiliki teks dan mengembalikan pada dasar dari al-Us}u>l, tanpa perlu menelusuri hadis-hadis atau atsar . Muhammad Sayyid Tuwa>na mengkutip pendapat al-Dahlawi> bahwa al-ra’y merupakan penetapan hukum atas asas keleluasaan (daf al-harj) dan asas maslahat sebagai ‘illat hukum. Maka dengan demikian bahwa al-ra’y lebih spesifik dari makna ijtihad. Ada juga yang mengatakan adalah setiap yang memiliki makna ijtiha>d (pengerahan upaya untuk mengenali hukum) baik berdasarkan teks-teks ataupun tidak.
Lebih jauh lagi Muhammad Sayyid Tuwa>na mengutip beberapa definisi lagi dari statemen para sahabat dan tabi’in serta imam-imam diantaranya adalah :
a) Al-Ra’y menurut Sahabat

1. Bahwa al-ra’y adalah qiya>s dan penentuan hukum dengan konsep maslahat, diantara mereka banyak yang memakai qiya>s dan juga banyak yang memakai asas maslahat.
2. Pengabilan dengan qiya>s dan istihsa>n.
3. Sebagaimana yang terlihat dalam fatwa-fatwa mereka bahwa al-ra’y adalah; hukum yang berdasarkan kaidah-kaidah umum, sebagaimana; “La dara>ra wala Dira>ra”, inilah yang kemudian disebut dengan al-maslahat al-mursalah, namun kemudian para fuqaha> khawatir bahaya dari kebebasan al-ra’y dengan mengindahkan al-sunnah, maka mereka mempersempit peranannya, dengan harus merujuk pada hukum asal hukum yang tertentu (yang jelas) yang mashush (memiliki rujukan teks), ini yang disebut dengan qiya>s. al-Ra’y juga sering disebut perujukan terhadap al-us}u>l al-‘a>mma>h (prinsip-prinsip umum), istilah lainnya adalah istihsa>n.
4. Adalah qiyas atau sesuatu yang tidak jauh dari itu.
5. Adalah juga pengambilan al-qiya>s, al-bara>’ah al-as}liyyah (prinsip hukum asal; bahwa sesuatu itu asalnya boleh kecuali ada teks yang melarangnya), sadd al-dhara>’i’/al-dhari>’ah (tindakan prefentif agar tidak terjerumus kepada hal yang dilarang) dan pengambilan hukum dengan asas al-mas}a>lih al-mursalah
6. Menurut para pakar hukum masa sekarang, al-ra’y yang biasa menjadi istilah para sahabat dalam istimbat hukum adalah; ijtiha>d dengan makna yang umum baik dalam pemaknaan al-kita>b, al-sunnah dan lain sebagainya.

b) Al-Ra’y menurut Tabi’in

1. Al-Ra’y adalah qiya>s, istihsa>n, sunnah, athar, ‘urf (tradisi) dan lain sebagainya, dimana kesemua itu tanpa mereka disandarkan pada Rasulullah saw.
2. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ra’y adalah lawan kata dari al-ilm yang menurut mereka adalah; sesuatu yang didengar dari Nabi saw baik al-qur’an maupun al-sunnah, maka al-ra’y adalah; proses ijtiha>d yang bila tidak ditemukan al-nas}/teks ataupun ijma>’.
3. Melaksanakan qiya>s dan istihsa>n sebagaimana menurut para sahabat.
4. Ataupun merupakan bentuk dari ungkapan yang masyhur apa yang dilakukan al-Imam Abu> Hani>fah sebagai Imam ahl al-ra’y, berupa; pengambilan fatwa sahabat, ijma>’, qiya>s, istihsa>n dan ‘urf.

c) Para Imam yang terkenal

1. Imam al-Sha>fi’i> menggunakan al-ra’y adalah memiliki makna ijtiha>d dan ijtiha>d menurutnya adalah sama dengan qiya>s.
2. Ibnu Hazm adalah istihsa>n dan istimba>t} hukum yang tidak bersandar pada nas} ataupun ijma’.
3. Ibnu al-Qayyim mengatakan al-ra’y adalah; apa yang telah dimantapkan hati setelah melalui proses pemikiran, perenungan dan pencarian hukum yang benar dari persoalan-persoalan yang saling berlawanan.
Dalam hal ini pula Dr. Umar Sulayma>n al-Ashqar mengatakan bahwa ahl al-ra’y adalah mereka yang banyak cenderung menjelaskan hukum Islam dengan melalui nalar pemikiran dan qiya>s, akan tetapi mereka bukan berarti tidak mengindahkan al-Qur’a>n atau al-Sunnah. Ahl al-ra’y dalam istilah yang lain adalah Madrasat al-ra’y juga sering disebut juga Madrasat al-Ku>fah atau al-Ira>q (dinisbatkan kepada Kota dimana madzhab ini lahir dan berkembang) yang kemudian dinamakan Madrasat ahl al-ra’y.
Demikianlah pemaknaan dari definisi antara ahl al-hadith dan ahl al-ra’y. Dan kemunculan kedua kelompok ini tidak lepas dari fragmentasi sejarah, bahwa kedua kelompok ini memunculkan madhhab-madhhab fiqh yang merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tashri>’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Fenomena perkembangan tashri>’ seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tashri>’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Munculnya madhhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madhhab-madhhab fiqh, sebagai contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin al-Khat}t}a>b dengan Ali> bin Abi> T{a>lib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madhhab-madhhab yang dianut. Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tashri>’, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya :
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqh, yang diberi nama al-Madhhab atau al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut diteruskan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madhhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya .
Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madhhab hukum Islam. Dengan demikian, maka penulis menganggap perlunya memahami isilah ahl al-hadi>th dan ahl al-ra’y mulai dari dimensi kesejarahan, karena Kemunculan dua kubu orientasi fiqh ini adalah produk sejarah yang memiliki titik mula. Oleh karena itu pembahasan persoalan polarisasi antara ahl-alhadith dan ahl al-ra’y harus mengangkat sejarah rancang bangunnya hukum Islam mulai dari periode perdana dimana Rasululla>h saw hidup.
C. SEJARAH HUKUM ISLAM DAN TIMBULNYA MADZHAB-MADZHAB
Dalam hal ini para ulama telah mempetakan sejarah hukum islam dengan sistem periodeisasi, ada yang Kemudian diantara mereka ada yang membagi empat periode dan al-Syeikh Muhammad al-Khudari> Bek sendiri membagi atas 4 (empat) periode :
1. Fiqh Periode Rasulullah saw
Pada periode ini adalah periode perdana perjalanan fiqh atau hukum Islam, dimana sumber utamanya adalah al-Qur’a>n kemudian al-Sunnah , karena itu Rasulullah saw memiliki dua tugas, pertama; menyampaikan wahyu kepada manusia, dan kedua; merealisasikan (dan menjelaskan) ayat-ayat al-Qur’a>n tersebut dalam kehidupan nyata kaum muslimin. Pada masa ini Nabi saw ketika ditanya persoalan atau telah terjadi peristiwa yang baru, yang membutuhkan jawaban, maka Nabi saw menunggu turunnya wahyu atau beliau ber-ijtihad dan kemudian beliau memunculkan hukum dari ijtiha>d tersebut dan Allah swt membenarkannya bila ijtihad-nya benar. Dan ijtiha>d Rasul ini tak lain adalah bersumber dari Qanu>n Allah dan Shari’at-Nya dengan memperhatikan pertimbangan maslahat serta asas musyawarah dengan para sahabatnya, karena itu setiap undang-undang hukum yang muncul dari Rasulullah saw baik langsung dari Allah atau ijtiha>d-nya kemudian diakui oleh Allah swt adalah merupakan al-Tashri>’at al-Ila>hiyya>t (hukum Tuhan) . Ijtiha>d (selain Rasul) pada masa ini tidak memiliki tempat yang luas, karena proses wahyu masih belum berakhir, bukan berarti tidak ada Ijtihad sama sekali. Pada masa ini pula para sahabat melakukan ijtiha>d, disebabkan karena mereka jauh dari Nabi karena perjalanan, sebagimana ijtiha>d yang dilakukan oleh Amr bin ‘Ad ini.
Mengomentari munculnya ijtiha>d dengan al-ra’y, Jalaluddin Rahmat menulis : Banyak para sahabat membagi perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu;
Pertama; yang berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah) dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak disebut huquq al-'ibad). Mereka menerima yang pertama secara ta'abbudiy.
Kedua; secara ta'aqquliy. Pada bagian kedua, Rasululla>h saw sering berijtihad, ijtihadnya boleh jadi benar atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan : "Kamu lebih tahu urusan duniamu?". Bukha>ri meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibnu 'Abbas disebut sebagai "tragedi hari Kamis". Dalam keadaan sakit, Nabi menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan wasiatnya. "Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya", kata Nabi. Umar berkata, "Nabi saw dalam keadaan sakit parah, di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab Allah itu." Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit Nabi melahirkan ijtiha>d Nabi yang tidak perlu diikuti. Para ahli hadis meriwayatkan berbagai peristiwa ketika ijtiha>d Nabi berbeda dengan ijtiha>d 'Umar dan Allah membenarkan ijtiha>d 'Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan 'Umar mengusulkan untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun membenarkan Umar, diriwayatkan bahwa Nabi saw, disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali kekeliruan ijtihadnya. 'Umar bertanya: "Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis ? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan menangis, kalau tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan Anda." Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Nabi. "Seandainya azab turun," kata Nabi, "Tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn al-Khat}t}a>b." Hadis-hadis di atas - walaupun keabsahannya harus kita teliti secara kritis - merupakan justifikasi terhadap peluang menggunakan ra'yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari ijtiha>d Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di dalamnya, Ibnu Abi> al-Hadi>d membenarkan kedua sahabat itu. Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan ijtiha>d dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan membantahnya." Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madhhab pemikiran mereka sebagai madhhab Umari>. Sebagai lawan mereka - dalam pemikiran - adalah madhhab A, yang terdiri atas sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali> bin Abi> T{a>lib. Mereka yang tidak membedakan huqu>q al-'ibad dan huqu>q Allah dalam instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tashri>', tidak ada ijtiha>d Nabi. Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya." (QS 53:3). Ketika Umar dan Uthma>n pada zamannya, masing-masing melarang haji tamattu, sedangkan Ali> menentangnya. Ibnu Kathi>r, dalam kitab tari>kh-nya, menulis :
"Para sahabat r.a. sangat takut kepada Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar kecuali Ali> bin Abi T{a>lib, yang berkata: "Barang siapa melakukan tamattu', ia sudah menjalankan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya." Ketika Ali menegur Uthma>n yang melarang tamattu', Utsman berkata: "aku tidak melarangnya. Ini hanyalah ra'yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil ra'yu-ku, kalau tidak, tinggalkan saja."
Periode ini berakhir sampai wafatnya Rasulullah saw, yaitu tahun 11 Hijriyyah. Kemudian disusul oleh periode berikutnya yaitu fiqh periode Sahabat-sahabat besar atau terkenal dengan fiqh periode al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n.

2. Fiqh Periode Sahabat-sahabat Besar atau Periode al-Khulafa al-Rasyidin (Berawal dari Tahun 11 Hijriyyah S/D 40 Hijriyyah)
Fiqh periode ini memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemikiran Islam.
Pertama : sahabat - sebagaimana didefinisikan ahl hadits – adalah; orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam . Dari marekalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.
Kedua : zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tashri>’. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tashri>’ orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru . Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan ijtiha>d pada zaman sahabat, al-Syaikh Muhammad Abu Zahrah menulis:
“Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra’yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra’yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdulla>h bin Mas’u>d; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nas}, sebagaimana Umar bin al-Khat}t}a>b”.
Dan pola pemikiran para sahabat atas dasar al-ra’y inilah yang akan mempengaruhi generasi tabi’in yang pada akhirnya melahirkan metodologi tertentu dalam istimba>t hukum dan menjadi 2 kelompok madrasat al-ra’y atau ahl al-ra’y dan madrasah ahl al-hadith. Dan inilah yang penulis maksudkan sebagai embrio ilmu fiqh yang pertama.
Ketiga : ijtiha>d para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Al-Imam al-Sha>t}ibi> menulis :
“Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan. ”
Dalam perkembangan ilmu fiqh, madhhab sahabat – sebagai ucapan dan perilaku yang keluar dari para sahabat – akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas, mas}a>lih mursalah dan sebagainya. Madhhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat, sebagian menganggapnya sebagai hujjah mutlak, sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas, sebagian lainnya hanya menganggap hujjah pada pendapat Abu> Bakar dan Umar saja, berdasarkan hadith (”berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar”); dan sebagian yang lain, berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan al-Khulafa>’ al-Ra>shidi>n .
Keempat : ini yang terpenting, ahl al-sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik (al-s}aha>biy kulluhum ‘udu>l) .
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting adalah al-khulafa> al-ra>shidu>n. Bila mereka sepakat, pendapat mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh, bila mereka ikhtilaf, madhhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit diatasi, lalu mengapa mereka ikhtila>f ?
Dalam hal ini al-Shaekh Muhammad Abu> Zahra menulis sebab-sebab perbedaan mereka. Beliau membagi sebab-sebab perbedaan menjadi 2 bagian.
Pertama : perbedaan tentang teks-teks yang adakalanya karena perbedaan pemahaman, karena memang teks itu sendiri mengandung dua intrepetasi, sebagaimana kalimat al-Quru>’ yang memiliki dua arti, haid dan suci, dan adakalanya karena pertentangan arti lahir dari teks.
Kedua : perbedaan mereka karena al-ra’y yang merupakan bab yang sangat luas, karena setiap mujtahid memiliki pendapat atau orientasi dan metodologi yang berbeda, dan sebab kedua ini yang melahirkan banyak perbedaan. Walaupun mereka menggunakan al-ra’y sebagai metodologi istimbat hukum, namun mereka sebenarnya kurang suka berdasar pada al-ra’y, karena kekahwatiran mereka terhadap sesorang yang berbicara dalam persoalan agama tanpa memiliki dasar ilmu, karena itu pula kebanyakan dari mereka membenci penggunaan al-ra’y.
Al-Shaekh Muhammad al-Khudari> Bek mencatat dasar-dasar fiqh sahabat ini sebanyak empat; al-Qur’a>n (referensi pokok), al-Sunnah, al-Ra’y (penalaran; adalah cabang dari kedua referensi diatas) dan al-Ijma>’ (dan merupakan kemestian bahwa penggunakan ijma’ mereka berdasarkan atas al-Kita>b, al-Sunnah ataupun al-Qiya>s) .

3. Fiqh Periode Para Sahabat Kecil dan Fiqh Tabi’in yang betemu dengan mereka (dimulai dari kekuasaan Mu’a>wiayah bin Abi> Sufya>n (41 H) – Permulaan abad ke II Hijriyyah.
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa tampilnya imam-imam madhhab. Di satu pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Nama Tabi’in adalah nama yang Allah swt berikan kepada generasi setelah masa sahabat – wa al-ladi>nat taba’u>hum bi ihsa>n -, mereka adalah murid-murid sahabat-sahabat Nabi saw. Setelah generasi sahabat paripurna, para tabi’in menemukan dua kekayaan pemikiran hukum, pertama; kekayaan riwayat, kedua; kekayaan hasil ijtihad fiqh. Jadi tugas mereka memiliki dua tugas, yaitu:
Pertama : menghimpun dua kekayaan yaitu kekayaan riwayat hadits-hadits Nabi saw dan menghimpun hasil pemikiran para sahabat dan ijtihad-ijtihad mereka.
Kedua : mereka melakukan ijtiha>d, bila mereka tidak mengetahui pendapat sahabat, tidak ada teks al-Qur’a>n maupun al-Sunnah. Dan metodologi ijtiha>d mereka sama dengan metodologi sahabat. Namun penghimpunan dua kekayaan pemikiran hukum ini tidaklah mudah, disebabkan karena terpencarnya para sahabat ke daerah-daerah lain (Irak, Syam dan lain sebagainya) .
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadis, Umar 537 hadis, Uthma>n 146 hadis, Ali> 586 hadits. Jika semua hadis mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadis, kurang dari 27% hadis yang diriwayatkan Abu> Hurairah (Abu> Huraiah meriwayatkan 5374 hadis, karena itu, para ta>bi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa> al-Ra>shidi>n. Dalam pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, al-Shaekh Muhammad Abu> Zahra> menulis:
“Sebenarnya sebelum dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak, bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar bin Khat}t}a>b menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan kota itu. Pertama; 'Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka. Kedua; ia mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Uthma>n memerintah, mereka diizinkan keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar, seperti Abdulla>h bin Mas'ud, Abu> Mu>sa> al-‘Ash'ari>, dan lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn Mas'u>d di Iraq, Abdullah bin Umar serta ayahnya al-Fa>ruq, Zaid bin Tha>bit dan lain-lain di Madinah. Kebanyakan, menurut Abu> Zahrah, murid-murid sahabat itu para mawali (non Arab). Fiqh ta>bi'in, karena itu, umumaya fiqh mawa>li>. Dari sahabat, para tabi'in mengumpulkan dua hal: Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat (aqwa>l al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara ta>bi'i>n yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga sahabat berguru pada mereka. Qa>bus bin Abi> Dabiya>n berkata: “Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan mendatangi 'Alqamah”. Ayahku menjawab : “Aku menemukan sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada 'Alqamah dan meminta fatwanya”. Ka'ab al-Akhba>r sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas, Abu Hurairah, dan Abdulla>h bin Amr. 'Alqamah dan Ka'ab keduanya ta>bi'i>n. Ada tujuh orang faqi>h ta>bi'in yang terkenal (al-fuqaha>’ al- sab'ah): Sa'i>d bin Musayyib (wafat 93 H), 'Urwah bin al- Zubair (wafat 94 H), Abu> Bakar bin 'Abi>d (wafat 94 H), Al-Qa>sim bin Muhammad bin Abu> Bakar (Wafat 108 H), Abdulla>h bin Abdilla>h (wafat 99 H), Sulayma>n bin Yasar (wafat 100 H) dan Khari>jah bin Zaid bin Tha>bit (wafat ?). Di samping mereka ada 'Atha>’ bin Abi Rabbah, Ibra>hi>m al-Nakha>'>i, al-Shu'bi>, Hamma>d bin Abu> Sulaima>n Sa>lim mawla Ibnu Umar, dan 'Ikrimah mawla Ibnu Abba>s”.
Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Ta>bi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf (klasik). Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan 'Uthma>n, Khali>fah ke-III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti Khawa>rij, Shi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham, dan pertikaian itu antara lain menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadis atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat. Melukiskan keadaan yang ruwet itu. Must}afa> al-Siba>'I,> mengetengahkan keterangan di bawah ini;
“Tahun empat puluh Hijriyyah adalah batas pemisah antara kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah perselisihan antara 'Ali> dan Mu'a>wiyah berubah menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar orang-orang Muslim memihak 'Ali> dalam perselisihannya dengan Mu'a>wiyah, sedangkan kaum Kha>warij menaruh dendam terhadap Ali> dan Mu'a>wiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri sebelumnya merupakan pendukung 'Ali> yang bersemangat.
Setelah 'Ali> r.a. wafat dan Mu'a>wiyah habis masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada dinasti Umayyah. Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'a>n dan Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'a>n dan al-Sunnah itu untuk setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'a>n tidak menurut hakikatnya dan membawa nas}-nas} Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka, setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap al-Qur'a>n karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya. Dari situlah mulai pemalsuan hadith dan pencampuradukan yang sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para pemalsu hadis itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok mereka.
Nurcholis Majdid menulis tentang hal ini demikian :
“Di bawah pimpinan Khali>fah Mu'a>wiyah yang masa kekhalifahannya disebut Ibnu Taymiyyah sebagai permulaan masa "kerajaan dengan rahmat" - al-mulk bi al-rahmah -, kaum Muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan 'Umar (zaman al-Shaekha>ni>, "Dua Tokoh") yang amat dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan" yang membunuh 'Uthma>n (dan yang kemudian ikut mensponsori pengangkatan ‘Ali>, namun akhirnya berpisah dan menjadi golongan Khawarij. Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'a>wiyah itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para Khali>fah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu), tapi "koalisi" itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadis atau Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus. Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz (Makkah-Madinah) dengan orientasi hadis-nya, dan Irak (Ku>fah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya.
Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Shaekh 'Ali> al-Khafi>f, Pada zaman itu (zaman Ta>bi'in), dalam ifta>’ (pemberian fatwa) ada dua aliran :
Pertama aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, qiyas, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai dasar ijtihad, tempatnya ialah Irak.
Kedua aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau "petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak. Hijaz adalah tempat tinggal kenabian, di situ Rasul menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi di tempat tinggal banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Ta>bi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana. Disamping itu pula ingkungan Hijaz adalah lingkungan yang sedikit tumbuh kembangnya peristiwa-peristiwa baru, dengan demikian orientasi pemikiran penduduknya sangat dpengaruhi olehnya, sehingga sedikit pula pemikiran-pemikiran baru, lain halnya bila suatu daerah memilki banyak keberagaman budaya .
Dalam masa ini mulai muncul dengan jelas dua perbedaan metodologi istimba>t hukum, disamping mereka sudah terbagi secara politik (Shi>’ah, Khawa>rij dan Jama>’ah), diantara mereka ada yang berpegang berpegang dengan riwayat hadis – bahkan lebih ekstrim dari masa sahabat – adapula menitik beratkan pada al-ra’y karena munculnya banyak pemalsuan hadis-hadis. Dengan peristiwa inilah muncul istilah fiqh al-ra’y dan fiqh al-athar.
4. Fiqh Periode Para Imam Mujtahid (mulai dari awal abad ke II H – pertengahan abad ke IV)
pada permulaan abad II Hijriyyah bermunculah orientasi-orientasi pemikian fiqh, dan pada masa ini pula masa kodifikasi dan masa imam-imam mujtahid membawa pengaruh dalam persoalan metotologi fiqh terhadap umat Islam. Dan setiap ulama memiliki usul al-istimbat dan metodologi yang berbeda dengan yang lain, demikian ini tercipatlah istilah al-madaris al-fiqhiyyah (kelompok-kelompok pemikiran fiqh). Maka karena itu al-mada>ris al-fiqhiyyah bukanlah merupakan bangunan yang dugunakan untuk belajar ilmu fiqh, akan tetapi adalah suatu metodologi atau teori hukum yang ciptakan oleh seorang al-Faqih, dan kemudian diikuti oleh yang lain yang pada akhirnya kemudian menjadi sebuah aliran.
D. KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHUSUS DAN SUMBER HUKUM AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
Sebenarnya untuk melacak karakter atau ciri khusus dari dua kelompok pemikiran ini, kita bisa membaca apa yang telah ditulis penulis diatas, bahwa dengan mengelompokan mereka, mulai dari masa tabi’in dimana ahl al-hadits dipelopori oleh Sa’id bin al-Musayyib dkk, dan ahl al-ra’y dan al-qiyas dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Nakha’i, yang merupakan guru dari Hammad bin Abi Sulaiman, juga merupakan kakek guru dari al-Imam Abu Hanifah. Maka kita bisa melacak karakteristik pada macam-macam pemikiran kedua kelompok ini. Yang pertama (ahl-al-hadits) kemudian berkembang menjadi kelompok madzab Maliki, Syafi’i dan Hambali, sedangkan yang kedua berkembang menjadi kelompok madhhab Hanafi>.
Dalam hal ini al-Syaekh Muhammad al-Khudary Bek menulis sikap-sikap ahl al-hadith dan ahl al-ra’y yang merupakan karakteristik yang membedakan kedua aliran ini, yaitu;
Pertama : Ahl al-hadith, kiblat mereka adalah al-Sunnah sebagai penyempurna al-Qur’an, mereka sangat memperhatikan teks-teks al-Sunnah tanpa melihat ’illat atau sebab-sebab hukum dan tanpa melihat al-Ushu>l al-’An dan dikuatkan dengan al-Sunnah, begitu juga setiap bab fiqh memiliki dasar-dasar yang diambil dari al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Mereka tidak banyak meriwayatkan al-Sunnah, karena mereka sudah percaya diri kepada prinsip-prinsip umum. Dan mereka terkadang meninggalkan al-Qiya>s yang jelas dalam satu kasus demi al-ushul al-’ammah, yang kemudian dinamakan Istihsa>n.
Dr. Sayyid Muhammad Yusuf Tuwa>na menulis; “ Ahl-al-Hadith lebih mengutamakan diam daripada berfatwa dengan qiya>s – sikap ini sama dengan sikap para mutakallimi>n karena mereka menganggap tidak ada tempat bagi akal dalam shari>’at - . sedangkan ahl al-ra’y mengambil qiya>s, dan menganggap suatu dalil shar’i>, bila mereka tidak menemukan dalil yang lebih kuat dari qiya>s. Untuk memudahkan pemilahan antara dua kelompok metodologi, penulis akan terlebih dahulu akan mengelompokan para ulama dari masa tabi’in sampai imam-imam madhhab terkenal dengar sumber hukum masing-masing, yaitu;
I. KELOMPOK AHL AL-HADITH
Kelompok ini menurut al-Shahrasta>ni> dinamakan juga Ashab al-Hadith, karena perhatian mereka terhadap pencarian hadis-hadis, periwayatannya dan rancang bangun hukum berdasarkan teks-teks. Mereka tidak merujuk pada qiya>s jaliy ataupun khafiy selama mereka menemukan hadits atau atsar” .
Dr. Umar Sulaima>n al-Ashqar menulis : Pemimpin-pemimpin ahl al-hadith adalah, Imam Ma>lik, Sha>fi’i>, Ahamd bin Hambal, Sufya>n al-Thawri>” .
Demikianpula al-Shahrasta>ni> menulisnya : |Ashab al-hadith adalah penduduk Hijaz, adalah pengikut Imam Malik bin Anas, pengikut Muhammad bin Idri>s al-Sha>fi’i>, pengikut Sufya>n al-Thawri> dan pengikut Da>wud bin Ali> al-As}fiha>ni>” .
Sedangkan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah menulis riwayat dari al-Baiha>qi> dalam kitabnya, al-Madhkhal, dari Yahya> bin Muhammad al-’Amba>ri>, berkata : Ashab al-hadits adalah pengikut Ma>liki, S>ha>fi’i, Hambali, al-Rahawiyyah (pengikut Ima>m Ahmad bin Rahaweh) dan Khuzaimiyyah (pengikut Imam Muhammad Isha>q bin Khuzaimah).
Selain mereka itu juga banyak diantaranya adalah para ulama abad ke II Hijriyyah, mereka adalah : Yahya> bin Sa’i>d al-Qat}t}a>n, Waki>’ bin al-Jarra>h, Sufya>n bin ’Uyainah, Shu’bah bin al-Hajja>j, Abd al-Rahma>n bin Mahdi>, al-’Awza>’i dan al-Laith bin Sa’i>d. Sedangkan ulama pada abad ke III Hijriyyah adalah : Ali> al-Madi>ni>, Yahya> bin Mu’i>n, Abu Bakar bin Abi Shaibah, Abu> Zar’ah al-Ra>zi>, Ibnu Jari>r al-T{abari>, al-Bukha>ri>, Muslim, al-Nasa>’i>, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ibnu Ma>jah dan Ibnu Qutaibah al-Dainu>ry. Demikianlah beberapa kelompok ahli hadis yang penulis istimbat dalil, karena itu penulis akan kemukakan sumber-sumber hukum ahl al-hadits.
Imam Ma>lik menyusun paradigma hukumnya dengan sumber-sumber sebagai berikut; 1. al-Qur’a>n. 2. al-Sunnah. Imam Malik mengambil Hadis Mutawa>tir, Hadis Mashhu>r, dan Khabar al-Ad (namun Ma>liki> lebih mendahulukan Qiya>s dan Maslahat daripada Khabar al-Ad ini, dan dia mengingkari keafsahan nisbatnya kepada Nabi saw bila bertentangan). 3. al-Ijma>’. 4. Ijma>’ penduduk Madinah. 5. al-Qiya>s. 6. Pendapat sahabat (bila saling betentangan, maka ia memilih yang terkuat sanadnya dan paling sesuai dengan hukum-hukum Islam umum, dan ia menolak yang kedua). 7. al-Maslahat al-Mursalah. 8. al-’Urf (Tradisi). 9. Sadd al-Dhari>’ah (tindakan preventif). 10. al-Istihsa>n. 11. al-Istis}ha>b.
Imam Sha>fi’i> sebagai berikut; 1. al-Qur’a>n dan al-Sunnah (menjadi satu paket, karena al-Sunnah adalah penjelas al-Qur’a>n, dan penjelas sama dengan yang dijelaskan). 2. al-Ijma>’. 3. Pendapat-pendapat sahabat. Dalam hal ini Imam Sha>fi’i> membagi tiga katagori, Pertama; Sesuatu yang telah terjadi ijma>’, sebagimana meninggalkan bumi yang telah dikuasainya kepada para petani setempat, dalam hal ini, tidak ada boleh pendapat lagi. Kedua; Satu pendapat sahabat, dan tidak ada yang sama atau berlainan (beliau mengambilnya sebagai hujjah). Ketiga; Sesuatu yang diperselishkan oleh para sahabat (dalam hal ini, Sha>fi’i> bersikap sebagaimana Abu> Hani>fah, yaitu memilih pendapat mereka yang lebih dekat dengan al-Qur’a>n, al-Sunnah, al-Ijma>’ ataupun pendapat yang dikuatkan dengan qiya>s yang lebih kuat). 4. Pendapat sahabat yang tidak ada yang berlainan. 5. al-Qiya>s. Sha>fi’i> tidak berijtihad dengan pintu al-ra’y kecuali dengan pintu al-qiya>s .
Imam Hambali> sebagai berikut; 1. Berpegang pada teks, bila ada teks dan tidak berpaling pada yang lain (baik kepada al-ra’y, qiya>s, dan pendapat sahabat). 2. Pendapat sahabat yang tidak ada yang berlainan. 3. Memilih diantara pendapat-pendapat sahabat yang lebih dekat dengan al-Qur’a>n maupun al-Sunnah, bila berlainan, dan bila mereka bingung memilih, mereka tidak menyeleksi dengan jalan al-takhri>j, maka mereka hanya mengatakan ada khila>f, dan tidak ada selektifitas pendapat. Disini ada perbedaan dengan Sha>fi’i>, dimana Sha>fi’i> memilih atau mentarjih walau dengan jalan qiya>s – apa yang terkuat dari sisi qiya>s, itu yang dipilih -, sedangkan Hambali memilih yang didukung al-Qur’a>n maupun al-Hadi>th, dan ia tidak melirik kepada qiya>s, karena ia tidak mendahulukan qiyas atas qaul sahabat. 4. Hadis Mursal – hadis yang ra>wi-nya tidak melalui atau menyebutkan sahabat – dan hadis dai>’f – tapi tidak terbukti merupakan hadis palsu atau maud}u’ - , maka ia mengunggulkan atas qiya>s, karena ia sendiri membagi hadis antara s}ahi>h dan da’i>f (bukan hadits mungkar, batil dan palsu, hanya tidak memiliki kedudukan thiqqah 5. al-Qiya>s; yaitu bila tidak menemukan sumber-sumber diatas, atau bisa dikatakan bila darurat.
II. KELOMPOK AHL AL-RA’Y
al-Shahrasta>ni> menulis : Kelompok ashab al-ra’y, mereka adalah; Penduduk Irak, mereka adalah pengikut Imam Abu> Hani>fah, diantaranya adalah; Muhammad al-Hasan, Abu> Yu>suf Ya’qu>b bin Ibra>hi>m bin Muhammad al-Qa>di>, Zafr bin al-HudHail, al-Hasan bin Ziya>d al-Lu’lu’ay, Ibnu Samma>’ah, ’Adi>, Abu> Mut}i’ al-Balkhi dan Bishr al-Muraesi>”.
Imam Abu> Hani>fah; menyusun paradigma hukumnya dengan sumber-sumber sebagai berikut; 1. al-Qur’a>n. 2. al-Sunnah. 3. Pendapat-pendapat sahabat. 4. al-Qiya>s (bila tidak terdapat dalam 3 point diatas). 5. al-Istihsa>n (hal ini dilakukan bila jalan qiyas menemui jalan buntu, yaitu dimana ia akan keluar dari qiya>s z}ahir menuju qiya>s khafi> , karena qiya>s z}ahir dianggap kurang sesuai pada bagian-bagian tetentu, dan ia mencari ’illat yang lain, atau qiyas z}ahir bertentangan dengan nas}, ijma>’ ataupun al-’urf. 6. al-Ijma>’ (semua sepakat bahwa ijma’ menjadi hujjah, akan tetapi mereka berselisih tentang kemungkinan ijma’ setelah masa sahabat, Imam Ahmad sendiri mengigkarinya. 6. al-’Urf; adalah merupakan tradisi orang muslim, atau tradisi sahabat yang tidak bertentangan dengan nas}.
Dari sini kita bisa menilai bahwa sebenarnya di kalangan madhhab-madhhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra’y dan fiqh al-athar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk kontinum. Madhhab-madhhab itu berbeda dalam intensitas penggunaan nas} dan al-ra’y.
Ali Yafie melukiskannya sebagai lingkaran-lingkaran :
Lingkaran pertama, merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra’yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka: La al-ra’y fi> al-di>n (tidak ada tempat rasio dalam agama). Madhhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut madhhab al-Zahiri>, karena diprakarsai Da>wud al-Z{ahiri> yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla>. Disadari atau tidak, madhhab ini sebenarnya juga menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat sedikit.
Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab ini disebut mazhab Hambali yang dipelopori Imam Ahmad ibn Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha’if harus lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak dilaksanakan di Saudi Arabia. Lingkaran ketiga; kelompok yang disebut madzhab Maliki yang dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka adalah al-Mashalih al-Mursalah. Lingkaran keempat; madzhab Syafi’i yang dipelopori Imam Syafi’i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih banyak menggunakan analogi atau qiyas. Lingkaran kelima; terakhir, adalah mazhab yang frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits. Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi.” Dengam demikian bisa disimpulkan bahwa garis pemisah keduanya sangat tipis, hanya pada intensitas pengunaan akal. Dan penulis akan menetengahkan pertentangan atau polarisasi yang terjadi pada kedua aliran ini.
E. POLARISASI AHL ALHADITH DAN AHL AL-RA’Y

al-Shaikh Muhammad al-Khudari> Bek mencatat pertentangan antara ahl al-ra’y dengan ahl al-hadith, dimana ahl al-hadith mencaci ahl al-ra’y, bahwa ahl al-ra’y meninggalkan sebagian hadis-hadis demi qiyas-qiyas mereka, namun al-Khudary Bek membantahnya dengan mengatakan :
“Kami tidak melihat mereka mendahulukan qiyas daripada sunnah yang otentik dipandangan mereka, - kalau mereka dianggap meninggalkan sunnah – mungkin riwayat hadis tidak sampai kepada mereka atau hadits yang sampai kepada mereka dianggap kurang dapat dipercaya sanadnya, sehingga mereka berfatwa dengan al-ra’y, atau juga hadis tersebut bertentangan dengan sesuatu yang lebih kuat dipandangannya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Sufya>n bin ‘Uyainah, ia bercerita; suatu ketika Abu> Hani>fah dan Imam al-Awza>’i bertemu di Mekkah, kemudian al-Awza>’i bertanya kepada Abu> Hani>fah; kenapa anda tidak mengangkat tangkat ketika ruku>’ dan bangun dari ruku>’ ? Abu> Hani>fah menjawab; karena sandaran hukumnya samasekali tidak abash. al-Awza>’i berkata lagi; bagaimana hal ini tidak absah, yang menceritakan kepadaku adalah Imam al-Zuhri> dari Sa>lim dari Ayahnya dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengangkat tangan ketika iftita>h, hendak ruku>’ dan bangun darinya?, kemudian Abu> Hani>fah menimpali; telah bercerita kepadaku Hamma>d dari Ibra>hi>m dari ‘Alqamah dan al-Aswad dari Ibnu Mas’u>d bahwa Rasulullah saw tidak mengangkat tangan ketika itu, kecuali ketika iftita>h. Al-Awza>’i mengatakan; aku mengatakan demikian, kamu demikian. Abu> Hani>fah berkata lagi; Hamma>d lebih paham dari al-Zuhri> dan Ibra>hi>m juga lebih paham dari Sa>lim dan ‘Alqamah tidaklah dibawah Ibnu Umar, walupun Ibnu Umar memiliki keistimewaan sebagai sahabat, demikian pula al-Aswad juga demikian, dan Abdullah adalah Abdullah. Kemudian al-Awza>’i diam.
Abu> Hani>fah memang hanya sedikit meriwayatkan hadis. Kata Ibn Khaldu>n, hal itu dikarenakan Abu> Hani>fah sangat memperketat syarat-syarat penerimaan hadis. Kata Dr. Ahmad Ami>n, kurangnya hadis pada Abu> Hani>fah menunjukkan bahwa ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadis saja, ia menguji hadis dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah pernah dilaporkan berkata: “Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama itu ra’yu yang baik ?. Barangkali ini penegasannya tentang keharusan nas} tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat yang diceritakan Ali> Hasan Abd al-Qa>dir :
“Musuh-musuh Abu> Hani>fah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada hadis. Ia memprioritaskan al-ra’y dalam mengeluarkan keputusan fiqh. Ia menolak banyak hadis demi al-ra’y”.
Abu> S{a>lih al-Farra> menuturkan :
“Aku mendengar Yusuf bin Asbat} berkata : Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadis Nabi saw. … Kataku : “Berikan sebagian contohnya.” Katanya : “Rasulullah berkata, kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata Abu Hanifah : “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang Mukmin.” Rasulullah melakukan ish’a>r (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan kurbannya. Kata Abu> Hani>fah : “Ish’a>r adalah penganiayaan.” Nabi bersabda: “Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya berpisah.” Kata Abu> Hani>fah : “Bila jual beli wajib, tidak ada khiyar.” Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian. Kata Abu> Hani>fah : “Undian itu judi.” Kata mereka : “Pada zaman Abu> Hani>fah, ada empat orang sahabat. Abu> Hani>fah tidak tertarik untuk menemui mereka.” Ibn Abu> Shaibah dalam bukunya, pada bab khusus, menyebut hadis-hadis yang ditolak Abu> Hani>fah dan mencapai 150 hadis, salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu> Yu>suf, ia memegang jabatan qa>di> pada masa-masa kekhalifahan ‘Abba>siyyah, antara lain pada masa al-Mahdi>, al-Ha>di> dan al-Rashi>d. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madhhab Hanafi tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madhhab Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen mereguk ilmunya . Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak heran kalau Fazlur Rahman sering – bahkan paling sering– menyebut Abu> Yu>suf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya. Ia memuji Abu> Yu>suf karena memberikan penafsiran yang situasional kepada hadis yang “berdiri sendiri”, menerima hadis dengan sikap kritis, dan menetapkan “sunnah yang dikenal baik” sebagai kriteria terhadap “semangat dan sikap kolektif” dari hadis.
Polarisasi antara kedua kelompok ini, mendapat penilaian dari Dr. Umar Sulaiman al-Ashqar dengan membandingkan Kedua kelompok itu secara jelas, beliau mengatakan :
“Ahl al-hadith telah sangat baik dalam perhatian yang besar terhadap teks-teks hukum, baik secara hafalan, pembelajaran dan bertafaqquh, namun mereka, melakukan kesalahan dalam sikap mereka yang tekstual dan kurang memahami kandungan fiqh-nya. Sedangkan ahl al-ra’y telah sangat bagus, karena mereka bukan hanya memahami teks, namun mereka telah mendalami kedalaman makna teks-teks, kemudian mereka mencari ‘illat-‘illat hukum, memperluas cakrawala orientasi teks, memperhatikan isyarat-isyarat teks, meng-qiyas-kan hal yang sama dan serupa, akan tetapi mereka tidak terlalu memperhatikan keabsahan teks-teks sebagaimana mereka memperhatikan ‘illat-‘illat dan al-qiya>s, mereka tidak berupaya mencari teks-teks dan berupaya mengetahui teks yang s}ahi>h dan da’i>f.”
Namun pada masa berikutnya terjadi pelencengan oleh sebagian kelompok ahl al-hadits, tidak sebagaimana para pendahulunya. al-Khat}t}a>bi> menceritakan kondisi zamannya, mengenai ahl al-hadi>th :
“Mereka kebanyakan berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan pemisahan hadis-hadis ghari>b dan sha>dh --hadis-hadis yang kebanyakan mawdu>' dan maqlub. Mereka tidak memelihara matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya, dan tidak mengungkapkan kandungan fiqh-nya. Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencaci mereka dan menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha”.
Contoh perbedaan pendapat Ahli Hadits dan Ahli Ra’yi
KASUS PENDAPAT AHL AL-HADITS (FUQAHA HIJAZ) PENDAPAT AHL AL-RA’Y (FUQAHA IRAK)
Zakat 40 ekor kambing adalah
1 ekor kambing Harus membayar zakatnya dengan wujud satu ekor kambing sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. Muzaki wajib membayar zakatnya itu dengan 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan seekor kambing.
Zakat fitrah itu 1 sha’ tamar (kurma) atau sya’ir (gandum) Harus membayar zakatnya dengan 1 sha’ tamar sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. Muzaki wajib membayar zakat fitrah itu dengan 1 sha’ tamar atau dengan harga yang senilai dengan 1 sha’ tamar tersebut
Mengembalikan kambing yang terlanjur diperas air susunya, harus dikembalikan dengan denda 1 sha’ tamar Harus menggantinya dengan membayar 1 sha tamar sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. Menggantinya dengan harga yang senilai dengan ukuran air susu yang diperas berarti telai menunaikan kewajiban.

Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa Ahl al-Hadi>th memahami nash-nash ini menurut apa yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tashri>’ (sebab disyariatkan). Sedangkan Ahl al-Ra’yi memahami nash-nash tersebut menurut maknanya dan maksud disyariatkannya oleh Sang Pembuat Shari’at, Allah swt.
Sebab-sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut, adalah:
REALITA YANG DIHADAPI AHL AL-HADITS REALITA YANG DIHADAPI AHL AL-RA’Y
Memiliki kekayaan atsar-atsar (hadis dan fatwa sahabat) yang dapat digunakan dalam membentuk hukum-hukum dan dijadikan sandaran Tidak memiliki kekayaan atsar sehingga berpegangan atas akal mereka, berijtihad untuk memahami ma’qu>l-nya nas} dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam hal ini mereka mengikuti guru mereka Abdulla>h bin Mas’u>d ra.
Menghadapi realita masyarakat yang cenderung homogen tanpa terjadinya hal-hal yang berpengaruh pada sumber-sumber tashri>’. Menghadapi realita terjadinya fitnah yang membawa pada pemalsuan dan pengubahan hadis-hadis. Karenanya mereka sangat hati-hati dalam menerima riwayat hadits, mereka menetapkan bahwa hadits haruslah masyhur di kalangan fuqaha’.
Muamalat, aturan, dan tata tertib yang ada di Hijaz sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi Islam terdahulu yang memang tinggal di daerah tersebut. Kekuasaan Persia banyak meninggalkan aneka ragam bentuk muamalat dan adat kebiasaan, serta aturan tata tertib, maka lapangan ijtihad menjadi demikian luas di Irak. Para ulama biasa melakukan pembahasan dan menuangkan pemikiran.

F. PENUTUP

Bahwa polarisasi antara ahl-al-hadith dan ahl al-ra’y adalah bentuk keniscayaan sejarah hukum Islam, mereka terpola dengan banyak factor yang mempempengaruhinya, baik secara historis atau sosiologis. Mazhab ahl al-hadith dan ahl al-ra’y merupakan penyebab timbulnya madhhab-madhhab fiqh, dan madhhab-madhhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran madhhab-madhhab hukum dan dua abad kemudian madhhab-madhhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istimba>t hukum. Kelahiran madhhab-madhhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madhhab seperti Abu> Hani>fah, Imam Ma>lik, Imam Sha>fi>’i>, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtiha>d yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nas} al-Qura>n dan al-Hadi>th maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nas}.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madhhab dalam melakukan istimba>t hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing madhhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istimba>t hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan us}u>l fiqh.
Sampai saat ini Fiqh ikhtila>f terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu>’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nas} dan meng-istimbat-kan hukum yang tidak ada nas}-nya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan madhhab dan yang melarangnya.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan madhhab-madhhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’a>n dan al-Sunnah.
Demikianlah makalah ini dapat penulis ajukan, senoga bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA

 al-Ghaza>li>, Abu Ha>mid Muhammad bin Muhammad, al-Mustas}fa fi ‘Ilm al-Us}u>l, Baerut-Libanon, Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H
 al-Dahlawy, Ahmad bin Abd al-Rahi>m Waliyullah. al-Ins}a>f fi Baya>ni Asba>b al-Ikhtila>f”, Bairut-Libanon, Da>r al-Nafa>’is, 1404 H
 al-Shahrasta>ni>, al-Milal wa al-Nihal, Da>r al-Ma’rifah-Baerut
 al-Sha>tibi> (wafat 790 H), al-Muwa>faqat, Da>r Ibnu ‘Affa>n, 1997, cet.I
 Mudzhar, Atho', Catatan-catatan kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam pada Fakultas Pasca Sarjana, IAIN Jakarta, 1990/1991. Diambil dalam Artikel Yayasan Paramadina, http;//media.isnet.org/islam/paramadina/index.html, diakses 20 April 2009
 Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
 Hamd bin Muhammad bin Ibrahim, Ma’alim al-Sunan, Ans}a>r al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1948,
 Hasan, H.KN. Sofyan, Hukum Islam; Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Literata Lintas Media, Jakarta, 2004
 al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyi>m, ‘Ila>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-‘An, Da>r al-Ji>l, Baerut-Libanon, 1973
 Taimiyyah, Ibnu, (Taqiyyuddi>n Abi> al-‘Abba>s Ahmad bin Abdul Hali>m), S}ihhat Us}u>li ‘Anah, Kairo, Maktabah al-Mutanabbi
 al-Fairuzaba>di> al-Shairazi> Abu> Isha>q, Ibra>hi>m bin Ali> bin Yu>suf, al-Tabs}irah fi> Us}u>l al-Sha>fi’iyyah, Damascus, Da>r al-Fikr, 1403 H
 Imam al-Sarakhsi>, Us}}u>l al-Sarakhsi>, Baerut-Libanon, Cet. I, 1993
 Rahmat,Jalaluddin, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh ; Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madhhab Liberalisme
http://www.geocities.com/Pentagon/Quarters/1246/hukum.html. diakses 20 oktober 2009
 Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991
 ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1993
 al-Shauka>ni>, Muhammad bin Ali> bin Muhammad (w.1250 H), Irsha>d al-Fuhu>l ila> Tahqi>q al-Haq min ‘Ilm al-Us}u>l”, Damascus, Da>r al-Kitab al-‘Araby, 1999
 Abu Zahra, Muhammad, Tarikh al-Madha>hib al-Islamiyyah, Bairut-Libanon, Da>r al-Fikr.
 Salamah, Muhammad Khalf, Lisa>n al-Muhaddithi>n, al-Maktabah al-Sha>milah.
 al-Khudlary Bek, Muhammad, Tarikh al-Tashri’ al-Isla>mi>, Mesir, Mat}ba’ah al-Sa’a>dah, 1954
 Tuwana, Muhammad Sayyid Musa, al-Ijtiha>d wa Mada> Ha>jatina> fi> Ha>dha> al-‘Ashr, Mesir, Da>r al-Kutub al-Hadi>thah, 1972
 al-Husain al-Razy, Muhammad bin Umar, al-Mahs}u>l fi> ‘Ilm al-Us}u>l, Riya>d, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad bin Su’u>d al-Isla>miyyah, 1400 H
 Musa, Muhammad Yusuf, al-Madkhal li al-Dirasat al-Fiqh al-Islamiy, Baerut-Libanon, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1953
 A.Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Islamabad; Risalah Bush, 1995
 al-Zarqa, Must}afa> Ahmad, al-Fiqh al-Isla>mi> fi> Thaubihi al-Jadi>d; al-Madhkhal al-Fiqhi> al-‘Abi’ al-Faba>’i> al-Adi>b, 1967
 Madjid, Nurcholis, Artikel Yayasan Paramadina, Sejarah Awal Penyusunan dan Pembukuan Hukum Islam
http//media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/index.html, diakses 20 April 2009
 Baalbaki>, Ru>hi<, al-Mawrid a Modern Arabic-English Dictionary, Da>r al-Mala>yi>n, Bairut-Libanon, 1996
 al-Ashqar, Umar Sulaima>n, al-Madkhal Ila> al-Dira>sat al-Madaris Wa al-Madha>hib al-Fiqhiyyah, Yordania, Da>r an-Nafa>is, 1996
 http;//moenawar.multiply.com/journal/item/12/ TA<’: Sejarah Perkembangan Madhhab. Di akses 20 April 2009  al-Zuhaili>, Wahbah, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Damascus, Dal al-Fikr, 1996


Tidak ada komentar:

Posting Komentar