selamat

Selamat datang di smp takhasus tumiyang sumber ilmunya daerah pekuncen dan sekitarnya, terima kasih atas kunjungan anda

Kamis, 14 April 2011

KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM

KEPEMIMPINAN WANITA
Oleh : Abu Zacky Muhyidin Dawoed
: Abstractبعد أن ظهرت الحركة التي تسمى بتحرير المرأة ، و أصبحت المرأة مثقفة ، تغيرت الأنظار و الأفهام فيما يتعلق بوضعها وسط المجتمع لا سيما فيما يتعلق بتقريرات العلماء القدماء ، و المرأة ترى نقسها أنها قد تغيرت و أصبحت مثل الرجل تماما في جميع المجالات ، كأنها تقول : إن ما للرجال و للنساء أيضا و و إن ما عليهم و عليهن أيضا . و انطلاقا من هذا المبداء بدأت الأصوات ترفع إلى ساحة المجتمع إلى ضرورة تجديد النظر في تفسير النصوص المتعلقة بالجنسين المختلفين ، و منها إعادة النظر في قضية إمامة أو رئاسة المرأة في الدولة في الميزان الشرعي . و أنا أرى أن إختلاف العلماء أو الباحثين في الموضوع يقسم على الأرآء الثلاثة ، و هي الأول لا يجوز مطلقا ، نظرا إلى صريح الحديث الصحيح ، و الثاني يجوز مطلقا – نظرا إلى عدم النص القطعي المتواتر و قياسا برئاسة بلقيس ، و الثالث لا ينظر من ناحية الذكورة أو الأنوثة ، و لكنه ينظر إلى الكفاءة ، إذا ، العبرة هنا من هو أكفأ الإنسان في البلاد و ليست قضية الذكورة و الأنوثة ، و هذا الرأي يعتبر – عند صاحبه – جامعا بين النصوص و الوقائع التاريخية . و عملنا في هذا البحث أن نحقق تلك الأراء ، و نعادلها في الميزان لكي نثبت اصح الأرآء و أنسبها في المجتمع الإسلامي الذي نعيش فيه – لأنه قد تختلف النتيجة بحسب اختلاف المجتمع نفسه – لأن الحكم يختلف باختلاف العلة . و نحن نرى الكتاب أو الباحثين في هذا الموضوع قد يغفلون النظرة الشمولية من جميع النواحي سواء كانت الناحية شخصية أو إجتماعية أو كفائية أو مصلحية التي لا يمكننا أن نغفلها .
: Keywordsتحرير المرأة ، رئاسة المرأة ، أكفأ الإنسان ، النص القطعي المتواتر ، النظرة الشمولية .
A. PENDAHULUAN
Ketika wanita mulai banyak yang terdidik, apalagi mereka yang telah banyak terpengaruh pemikiran liberal atau Barat, dan munculnya istilah “emansipasi wanita”, maka munculah pemikiran-pemikiran yang dianggap diskriminatif terhadap jender, diantara pemikiran yang dikritisi adalah tentang tafsir ulang terhadap pandangan tentang kepemimpinan negara atau kepemimpinan tertinggi dalam sebuah negara, yang mayoritas ulama klasik mengatakan bahwa wanita tidak diperkenan meamngku jabatan itu, karena ada hadith yang secara eksplisit melarangnya dan juga karena perbedaan karakter dasar yang ada pada kedua jenis antara pria dan wanita. Mereka yang menganggap pelarangan tersebut adalah diskriminatif karena didasarkan asumsi mereka bahwa pelarangan tersebut hanya melihat perspektif jender, ada pula yang melihat dari perspektif teks hadith yang dianggap merupakan kejadian khusus dengan analogi diakuinya Ratu Bilqis oleh al-Qur’an sendiri.
B. Kepemimpinan wanita
Mengenai persoalan kepemimpinan wanita, mereka tidak akan terlepas pada hadith diatas. Dalam memahami hadi>th tersebut para pakar hukum Islam dari masa ke masa sepakat bahwa kepemimpinan negara Islam adalah khusus untuk lelaki . Dan hadi>th tersebut adalah hadith khusus tentang kepemimpin tertinggi Negara bukan jabatan lainnya. Hal ini juga dikatakan oleh Dr. Must}afa> al-Siba>’i> bahwa kata al-wilayah (kekuasaan/mandate) yang termaktub dalam hadith tersebut tak lain adalah al-wila>yah al-‘ulya> (kekuasaan tinggi/kepemimpinan tertinggi); dan hadith tersebut terjadi ketika Nabi saw diberi tahu bahwa Persia telah terjadi peralihan kekuasaan kepada salah satu dari beberapa putri Kisra. Adapun al-wilayah secara umum tidak ada larangan berdasarkan ijma’, dengan dibuktikan adanya kesepakatan para pakar yuridis Islam (fuqaha>’) tentang keabsahan wanita atas mandate bagi anak kecil dan orang yang dianggap kurang memenuhi syarat untuk bertransaksi (na>qis} al-ahliyyah), menjadi wakil dari sekelompok masyarakat, menjadi saksi. Kesaksian adalah bentuk al-wila>yah (tugas dan tanggung jawab) sebagaimana yang telah ditulis oleh fuqaha>’.
Begitu pula Abu> Hani>fah memperkenankan wanita memegang jabatan qa>d}i> dalam situasi tertentu. Dan teks hadith yang kami pahami adalah kejelasan tentang terlarangnya wanita memegang jabatan tinggi (presiden) dan jabatan lain yang masuk dalam katagori jabatan yang berbahaya (khut}u>rah al-mas’u>liyyah) , adapun jabatan lain tidak ada persoalan, karena memang punya hak akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan kaidah-kaidahnya.
Hibbah Rauf Izzat mencoba untuk meneliti hadith ini dari berbagai segi yang pada akhirnya sebenarnya dia tidak setuju dengan pendapat mayoritas pakar yurisprudensi Islam . Ia berusaha mengkritisi rumusan dasar dasar fiqh tentang larangan wanita dalam memegang jabatan tetinggi dalam sebuah Negara. Ia menulis ada tiga kelompok yang memberikan penafsiran berbada mengenai hadith tersebut, yaitu :
Pertama; kelompok yang menganggap bahwa hadith tersebut mencakup seluruh wanita.
Kedua; kelompok yang menganggap bahwa hadith tersebut berkaitan dengan kekuasaan kekhalifahan dan tidak menyangkut kekuasaan lainnya.
Ketiga; kelompok ulama modern sekarang (meminjam istilah Izzat), memungkiri kesahihan hadith. Hadith ini dianggap maudu’ (dibuat-buat), kalaupun dianggap s}ahi>h, seasungguhnya hadith tersebut adalah hadith aha>d yang mengandung keraguan. Oleh karena itu hadith tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil dalam perkara konstitusional.
Ketiga pendapat dikomentari oleh izzat sendiri, bahwa pendapat pertama dianggap tidak mengakurkan atau memadukan dengan ayat-ayat al-Qur’an lainya dan hadith-hadith Nabi saw. Begitupula pendapat kedua. Sedangkan pada kelompok ketiga yang meremehkan pengamalan hadith ahad. Penulis menganggap bahwa Izzat begitu agak mendukungnya, ia seolah-olah mengatakan bahwa walaupun meremehkan hadith ahad, akan tetapi ada usaha untuk membentuk pandangan Islam yang benar. Izzat sendiri telah menganggap bahwa sebab adanya hadith tersebut adalah tentang sejarah Persia dan hanya menyangkut masalah berita, kabar gembira, dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah hukum shari>ah serta hadith tersebut bersifat khusus walaupun ada kaidah us}ul al-fiqh yang mengatakan pelajaran itu harus diambil dari keumuman lafaz}nya dan bukan kekhususan sebabnya (al-‘Ibrah bi Umu>m al-Lafz la bi Khus}u>s al-Sabab). Karena ada qari>nah (konteks) yang menunjukan kekhususan makna hadith yaitu ayat al-Qur’a>n al-Kari>m yang mengisahkan tentang Bilqis, Ratu Saba’yang membawa kejayaan negerinya.
Pendapat Izzat ini sebenarnya telah banyak dikutip oleh banyak ulama pada masa sekarang diantaranya adalah Muhammmad al-Ghaza>li> sebagaimana yang terlihat dalam referensinya, hanya saja Izzat tidak lebih moderat dan obyektif dari Muhammad al-Ghaza>li>. Menurut penulis Muhammad al-Ghaza>li> masih memandang secara proporsional tentang kesahihan hadith, hanya saja beliau ingin tahu tentang makna yang terdalam hadith tersebut, dan mencoba untuk menolak pertentangan antara al-Qur’an dan al-‘Ar (sejarah) yang dipahami bukan semestinya dan menolak al-Hadi>th dengan realitas sejarah. Dia mengatakan : “ (setelah dia menjelaskan tentang Bilqis) ….perlu ditegaskan bahwa saya bukan termasuk orang-orang yang berambisi memberikan jabatan besar kepada wanita, karena wanita-wanita sempurna itu sedikit, dan hampir bisa dikatakan kebetulan diantara mereka yang mampu membuktikan kesempurnaan itu. Dan apa yang saya cari adalah penafsiran hadith, dan menolak adanya pertentangan antara al-Kita>b dan sejarah kemudian menolak adanya pertentangan antara al-Hadith dengan realitas sejarah”.
Izzat mengesampingkan pendapat kedua, yang merupakan rumusan paling proporsional menurut penulis, dengan mempertimbangkan banyak pertimbangan dan teori. Walaupun kelompok kedua tidak secara eksplisit menyebutkan alasan-alasan yang rasional dan teori pembangunan hukumnya, namun penulis bisa memaklumi. Penulis akan menelusuri alasan teori dan rumusan rasional bagi kelompok kedua. Dan saya tidak setuju dengan pendapat pertama karena memang banyak betabrakan dengan banyak dalil yang memperbolehkan wanita melakukan kegiatan termasuk kegiatan politik.
Seperti apa yang telah saya tulis bahwa Muhammad al-Ghaza>li>, berusaha untuk menelusuri pemaknaan hadi>th ini secara benar, dengan menyatakan argument-argumen yang bisa mematahkan pendapat kedua (yang melarang wanita memegang jabatan tertinggi dalam sebuah Negara) sesuai pendapat kedua. Beliau mengatakan :
“Inggris bisa telah mencapai masa ke-Emasan ketika dipimpin oleh Ratu Victoria, dia telah membawa Inggris pada puncak kejayaan ekonomi dan kestabilan politik, jadi dimana letak keharaman dan keterlarangan, bagi mereka yang memilih para wanita sebagai pemimpin?, dan saya telah membicarakan hal ini, pada tempat yang lain mengenai atas pukulan-pukulan yang mematikan terhadap kaum muslimin yang dilakukan oleh Indira Gandhi dimana ia mampu memecah Negara Islam menjadi dua bagian , sedangkan Marsekal Yahya Khan (Presiden Pakistan) menuai kekalahan….begitu juga musibah-musibah yang telah menimpa dunia Arab ketika Negara Yahudi Israel dipimpin oleh Golda Meir, merupakan sejarah yang terkadang bisa dihapus dengan generasi yang lain!, cerita heroic ini bukan persoalan lelaki atau wanita, akan tetapi persoalan mental (akhla>q) dan kemampuan……Indira Gandhi kemudian mengadakan pemilihan umum, coba lihatlah! Apakah bangsanya akan memilihnya kembali atau tidak?, ternyata kemudian rakyat memilihnya kembali dengan demokrasi, sementara umat Islam sibuk dengan mengebiri dan memalsukan hasil pemilihan umum, seolah mereka adalah para spesialis pemalsuan demi kemenangan memperoleh kekuasaan sekalipun hal ini sudah diketahui public….jadi bangsa mana yang lebih utama (antara kaum muslimin yang suka berbuat curang dalam pemilihan umum atau bukan Negara Islam yang jujur) untuk dijaga oleh Allah swt dan menjadi Khalifah dibumi-Nya? dan kenapa kita tidak mengingat ucapan Ibnu Taymiyah : “Allah swt akan memenangkan Negara Kafir – karena keadilannya - atas Negara Islam yang banyak terjadi kelaliman!, jadi apa urusan Gender disini, wanita yang memiliki agama yang bagus lebih baik dari yang berjenggot (lelaki) tapi kufur.”
Musdah Mulia dan Anik Farida mencoba untuk menolak pendapat mayoritas ulama yang tidak memperbolehkan wanita memegang jabatan tertinggi, karena memang pendapat ini yang disepakati, adapaun jabatan lainya para pakar pakar yuridis membolehkannya. Musdah membagi aliran pemikiran dalam hal ini menjadi dua, yaitu ;
Pertama; aliran yang mengklaim bahwa Islam tidak mngakui hak perempuan menjadi pemimpin, baik dalam ranah domestik, terlebih lagi dalam ranah publik.
Kedua; aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak perempuan sama seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam mengakui kepemimpinan perempuan termasuk menjadi kepala Negara.
Pembagian aliran yang Musdah ungkapkan, penulis tidak setuju, karena pada dasarnya, sebelum adanya pendapat diperbolehkannya wanita menjadi kepala Negara, yang merupakan pendapat pasca munculnya slogan emansipasi wanita, telah ada dua pendapat yang terpisah, yaitu pertama; pendapat yang melarang wanita melakukan aktifitas apapun diluar rumah dan kedua; adalah pendapat yang memperbolehkannya, seperti menjadi qa>d}I atau hakim sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan al-T{abari>, namun pendapat kedua ini mengecualikan menjadi pemimpin Negara. Dalam hal ini Izzat lebih tepat membagi aliran pertentangan ini menjadi tiga kelompok. Dan pada Intinya Musdah dan Farida lebih cenderung mengikuti pendapat kedua (versi Musdah) dengan argumentasi-argumentasi yang penulis anggap kurang berbobot secara teologis (fiqh dan us}ul al-fiqh) bahkan terkadang meminjam pendapat kedua (versi Izzat) untuk menolak pendapat pertama. Musdah banyak mengambil pendapat jumhur untuk mematahkan jumhur itu sendiri, karena Musdah sangat agresif untuk memaksakan asumsinya bahwa wanita tetap boleh secara teologis menjadi kepala Negara. Pendapat dan argument Musdah dalam hal diperkenankannya wanita sebagai kepala pemerintahan diantaranya adalah dengan;
Pertama; ayat al-Qur’an surat al-Nisa>’ {[4]; 1, yang menjelaskan asal penciptaan manusia, antara laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga tidak ada diskriminasi. Dan surat al-Taubah [9]; 71, yang menjelaskan tentang kewajiban melakukan kerjasama dalam berbagaibidang kehidupan antara lelaki dan perempuan. Surat al-Nisa>’[4]; 34 yang menyatakan lelaki memiliki kekuasaan atas perempuan, jika memenuhi persyaratan yang disebutkan, dan kalau tidak berarti perempuan dapat menggantikan posisi itu. Surat al-H{ujura>t, [49]; 13, manusia adalah sama dihadapan Allah swt, yang membedakan adalah taqwanya. Surat al-Isra>’, [17]; 70, kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah dan memiliki sejumlah hak dan kewajiban dan ayat-ayat lainya.
Kedua; hadith Nabi saw yangberbunyi (من لا يهتم بأمر المسلمين فليس منهم) artinya; barang siapa yang tidak peduli dengan kepentingan umat Islam, bukan termasuk dari golongan mereka.
Ketiga; berupa qiyas (analogi) dari kisah Ratu Bilqi>s.
Keempat; persoalan baiat nabi atas para wanita sahabat.
Argument yang diungkapkan Musdah ini sebenarnya diakui dan di amini oleh jumhur, karena argument ini semua sebuah hal memang maklum. Karena mayoritas para ulamapun demikian, dengan mamakai juga dalil al-Istis}h}a>b (hukum asal, yaitu selama belum ada dalil yang melarangnya, maka segala sesuatu itu boleh hukumnya) . Disini yang menjadi persoalan bagi mayoritas para ulama adalah subtansi wanita sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, itu saja, bukan persoalan jabatan selain kepala negara, karena mayoritaspun mengakuinya. Yang paling subtantif dari argument Musdah adalah yang ketiga, yaitu analogi terhadap kisah Ratu Saba>’, Bilqi>s, yang memang, kita perlu cermati bersama, agar tidak ada pertentangan antara hadith s}ahi>h diatas dengan al-Qur’an. Bisa saja mereka yang memperbolehkan wanita sebagai sebagai pemimpin dengan memakai analogi ini, karena al-Qur’an sendiri, menyebutkannya. Tapi apakah hanya sampai disitu saja, karena walaupun Bilqis adalah merupakan ratu yang memiliki singgasana besar, namun pada akhirnya juga tunduk dihadapan Sulaiman as. Ini menunjukan kekalahan dan kelemahan Bilqis dan superioritas kekuatan Sulaiman as.
Maka melihat kisah ini, penulis memiliki kesimpulan bahwa wanita seakarang boleh saja sepert Bilqis, karena memang tidak ada larangan secara tegas, namun apakah kita mau Bilqis ditundukan oleh Sulaiman sekarang, tanpa melihat apa motif dan kepentingannya?. Jadi analogi semacam ini juga kurang kuat, bila kita hadapkan dengan hadith diatas yang bersifat umum, namun tidak memakai larangan, hanya arti tersirat yang penulis mencoba melalui penafsiran metode psikologi, yang jarang digunakan untuk memperkuat hadith tersebut.
Begitu juga apa yang dilakukan oleh Fari>d Abd al-Kha>liq dalam pemaknaan hadith tesebut, yang sebelumnya Fari>d melakukan sedikit pelemahan hadith tersebut, dengan menyebutnya sebagai hadith ahad yang isi kandungannya tidak jelas, menurutnya. Namun pada akhirnya ia juga mengkritisi orientasi pemaknaan teks dengan mengatakan bahwa teks tersebut bersifat khusus karena ada indikasi yang memperbolehkan pengalihan makna lahirnya atau mengalihkan keumumannya menjadi khusus. Dia mengatakan bahwa mengangkat pemimpin termasuk perkara politik yang tidak memiliki nas} yang jelas. Menurut hemat penulis ketidak jelasan nas} menurut Fari>d adalah terletak pada kehujjahan hadith ahad yang menurut Fari>d bertentangan dengan asumsinya, karena baginya persoalan pemimpin bukan terlelak pada persoalan gender tapi terletak pada kompetensinya daripada yang kurang berkompetensi. Bisa dikatakan Fari>d ingin mengatakan bahwa syarat pemimpin adalah kemampuan . Namun penulis juga mengkritisi, kenapa Fari>d tidak mau melakukan penelitian dari sisi ilmu psikologi tentang perbedaan gender (kelamin) akan mempengaruhi kemampuan memimpin (apalagi dalam persoalan yang besar; dalam hal ini adalah Negara). Dalam hal ini penulis yakin bahwa kemampuan yang terdapat dalam persyaratan pemimpin tertinggi adalah bukan kemampuan biasa, tetapi luar biasa.
Menurut hemat penulis sebaiknya menafsiri hadith tersebut tidak sederhana, namun harus melakukan penelitian apa fungsi dan tugas pemimpin tertinggi dalam sebuah Negara dan sifat-sifat apa yang diperlukan pada seorang pemimpin, terus kemudian sifat-sifat tersebut lazimnya ada pada lelaki atau wanita?. Disini tetap dibutuhkan adanya pisau analisis psikologis, sehingga mampu menerjemahkan orientasi pemahaman secara komprehenship tetang hadith tersebut. Malah penulis menganggap pemaknaan jumhur atau mayoritas ulama atas hadith tersebut lebih rasional dengan argumen-argumen beberapa teori hukum Islam (us}ul al-fiqh) dan teori psikologis yang akan kami tulis berikut ini.
C. Teori Hukum Islam dan Teori Gender bagi Sang Pemimpin Negara
Wahbah al-Zuhaili> menulis bahwah tugas kepala Negara adalah sangat berat dan berbahaya, dan membutuhkan kemampuan yang sangat tinggi, dan wanita biasanya tidak mampu memikulnya, suatu tugas yang didalamnya bisa kemungkinan terjadi perang, damai dan situasi-situasi yang berbahaya . Apa yang dikemukakan al-Zuhaili>, bukanlah hal yang aneh, karena memang tugas negara adalah berat, tidak sebagaimana tugas-tugas lainnya. Sebuah tugas yang memerlukan pengendali yang dapat membawa tugas negara pada tujuan sejatinya. Al-Mawardi> dan Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa kepemimpinan besar mengharuskannya untuk menjaga agama, melaksanakan hukum terhadap orang yang membangkang, member perlindungan, menegakan hukum h}udu>d, mempertahakankan negara dan berperang memimpinnya secara langsung .
Prof. Dr. Abd al-Razza>q Ahmad al-Sanhu>ri> (w.1971 M) menulis bahwa syarat calon khalifah, presiden atau kepala negara adalah lelaki, karena perempuan sebagaimana yang disampaikan oleh al-Taftaza>ni> dalam kitabnya Taqri>b al-Mara>m, tidak memungkinkan untuk melakukan tugas-tugas berat sebagaimana mestinya, terlebih dalam persoalan perang dimana Kepala Negara adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang . Dan yang paling menarik dari apa yang telah ditulisnya, al-\Sanhu>ri> mengatakan dalam catatan kakinya bahwa sebagian pakar berargumen bahwa wanita termasuk memiliki kekurangan dalam akal dan agamanya. Kemudian al-Sanhu>ri> juga mengungkapkan, dan tidak diragukan lagi andaikan kita menerima prinsip persamaan lelaki dan perempuan, maka sesungguhnya wanita dalam kehidupan social di dunia Timur dari dulu sampai saat ini, atau bahkan dalam dunia Barat sekalipun, wanita tidak lebih hebat daripada pria. Ini memperkuat apa yang kami katakan sebelumnya, tentang kekalahan argument kelompok persamaan gender.
Kalau kita amati dalam kehidupan social bangsa-bangsa, wanita jarang ditempatkan pada jabatan paling strategis tersebut. Penulis akan menanyakan kepada Barat sebagai pengusung kesetaraan gender dalam kepemimpinan tertinggi, kalaupun mereka secara teori mengimani adanya keseteraaan tersebut, mengapa di Amerika dan Negara-negara Barat lainnya, tidak pernah ada presiden wanita? Secara teori memang Islam dengan tegas menghalanginya, hal ini bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah daripada pria, hanya saja soal pembagian tugas dan rasa Islam memelihara fitrah perempuan itu sendiri dari hal-hal kurang memihak padanya. Penulis juga setuju andaikan pelarangan ini diterapkan pada posisi strategis lainnya, yang kurang cocok bagi wanita, sebagaimana panglima perang, sampai juga mungkin kuli beban berat.
Penulis juga menemukan argument dari kalangan mereka yang memperbolehkan kepemimpinan negara dikendalikan oleh wanita yang di tulis oleh Ahmad Rofik yang mengatakan secara tidak langsung dia menyebut bahwa selama ini fiqh perempuan (yang ditulis oleh ulama klasik) ditulis dan diformulasikan oleh para fuqaha lelaki, yang menurur Rofiq bisa menjadi controversial, karena memiliki corak misoginik dan segregatif , pandangan seperti ini yang menurut Rofiq perlu adanya dekonstruksi atau rekonstruksi fiqh perempuan dan pandangan itu perlu dieleminir . Apa yang dikatakan Rofiq sangat berlebihan, bahwa para ulama dianggap melakukan hal-hal tersebut, justru dalam hal ini, para pakar klasik telah menunaikan kewajiban intelektualnya dengan penelitian yang cukup konprehensip pandangan-pandangan fiqh mereka dari berbagai aspek, bahwa semua ulama Islam dari seluruh sekte telah sepakat akan terlarangnya wanita memiliki jabatan kepala Negara (Khali>fah) . Namun ada juga sebagian kecil dari ulama Khawa>rij memperbolehkannya, akan tetapi sangat sedikit dan tidak memiliki argumentasi yang kuat .
Demikian pula penulis juga menulis dari kacamata fiqh prioritas, yang akan saya ungkapkan sebagi argument analisa hukum.
Merujuk pada argumen yang saya ungkapkan, saya akan berupaya mengetengahkan teori hukum Islam yang mendukung tentang larangan wanita dalam memegang jabatan tertinggi dalam sebuah negara, yang pada akhirnya mendukung terhadap rasionalisasi pemaknaan hadith s}ahi>h secara benar. Mengingat banyak kalangan yang meragukan keberadaan hadi>th ini dan implikasi hukumnya. Dan teori-teori yang secara teologis dan rasional justru penulis temukan pada pemaknaan jumhur atau mayoritas ulama terhadap hadith diatas. Diantaranya dasar hukum larangan tersebut dilihat dari dua tinjauan adalah :
1. Al-Qur’a>n dan al-Sunnah
Dari dua dasar hukum Islam inilah memunculkan teori-teori hukum Islam lainnya sebagai landasan pemikiran hukum Islam. Dalam persoalan ini, penulis akan mengetengahkan dalil-dalil us}u>liyyah sebagai penguat argument.
a. Konsep Ijma’
Sebagaimana telah dicatat oleh Dr. Sawqi Abu Khali>l bahwa telah terjadi ijma’ ulama tentang keharusan seorang lelaki pemimpin Negara. Ibnu Hazm menulis :
وجميع فرق أهل القبلة ليس منهم أحد يجيز إمامة امرأة
“Seluruh umat Islam sepakat tidak diperkenan bagi seseorang untuk menjadikan seorang wanita sebagai pemimpin”. Adapun selain khali>fah sebagaimana hakim atau yang lain adalah khila>f atau terjadi perbedaan pandangan.
b. Konsep Qiya>s
Konsep ini justru sering dipakai oleh mereka yang mendukung bolehnya wanita sebagai Kepala Negara, dengan menganalogikan kedudukan Bilqis diantara kaumnya. Menurut Baltaji, yang pertama kali menganalogikan persoalan ini adalah al-Shaikh Muhammad al-Ghaza>li> dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya, sebagaimana Musdah Mulia, Anik Farida , Hibbah Rauf Izzat dan lain-lain. Kritik penulis mereka menqiya>s kedududukan Bilqis sebagai Ratu Saba’ adalah kurang lengkap, sebelum menganalisa hingga selesai. Sedangkan penulis mengqiyaskan kakalahan Bilqis dihadapan Nabi Sulaiman as adalah lebih tepat.
c. Konsep Istihsa>n
Kami bisa saja menganggap bahwa andaikan ada ayat yang memperbolekan wanita sebagai presiden, maka kami akan memakai dalil istihsan, yaitu sesuai dengan pemahaman al-Qur’an yang merupakan sumber rumusan fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyya>t). sebagaimana kisah Ratu Bilqis, andaikan itu dijadikan dalil sebagai kewenangan wanita memimpin sebuah Negara, maka kami memandang harus dilarikan ke qiyas khafi>> (kemenangan Sulaiman as) yaitu melalui istimbat hukum yang bernama istihsan. Dengan rumusan bahwa lelaki adalah lebih baik (menjadi Pemimpin Negara) dari pada wanita. Konsep yang penulis kemukakan ini merujuk pada dalil-dalil istih}san, yaitu :
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ [الأعراف/145] الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ [الزمر/18]
d. Konsep al-Mas}lah}ah} al-Mursalah
Andaikan tidak ada dalil yang melarang (disini ada dalil; namun mereka menganngapnya sebagai hadith ahad, bahkan mereka menganggap tidak memilki kekuatan hukum apapun) atau yang memerintahkannya, maka kami menggunakan dalil maslahat. Sebagaimana yang diterangkan sebelumnya, bahwa tugas pemimpin negara adalah menjaga konstitusi negara dan sebagai orang Islam, menjaga apa yang ada dalam maqa>s}id al-shari>’ah (tujuan shari>ah), menjadi panglima perang dalam sebuah pertempuran ketika memang mengharuskan adanya pertempuran, dalam hal ini lelaki lebih memberikan kepercayaan kepada ketentramana rakyatnya, mengingat adanya perbedaan phisilogis dan psikologis lelaki dan wanita.
e. Konsep ‘Urf
Konsep ‘Urf juga bisa menjadi dalil atau hujjah pelarangan tersebut , karena memang secara umum (mayoritas terjadi adanya wanita menjadi presiden).
f. Konsep al-Dhari>’ah
Kondisi negara adalah kondisi yang bisa saja tidak menentu, dalam kondisi perang misalnya dibutuhkan pemimpin pemberani yang berpengalaman, maka karena demi menutup terjadinya kehancuran, seharusnya memilih seorang yang pemberani dan wanita jarang memilikinya, dan Islam tidak ingin menanggung resiko kehancuran sekecil apapun demi kemaslahatan umat. Maka konsep keberanian temasuk dalam syarat prioritas (al-Shuru>t} al-Afd}aliyyah).
2. Perbedaan Biologis
Nasaruddin Umar mengutip dari beberapa ahli bahwa manusia adalah salah satu makhluk biologis yang mempunyai berbagai keistimewaan disbanding makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh manusia memiliki beberapa keunggulan sebagaimana dapat dilihat dalam perilaku manusia, potensi keunggulan itu menjadikan manusia sebagai penguasa di bumi (Khali>ah fi> al-Arz}).
Tentang kenyataan akan adanya perbedaan secara biologis antara lelaki dan perempuan tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi terjadi perbedaan efek biologis terhadap prilaku manusia yang telah telah menimbulkan perdebatan, sehingga muncul banyak teori. Sejumlah ilmuan menganggap bahwa perbedaan anatomi biologis dan kompsisi kimia dalam tubuh mempengaruhi perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing. Unger, misalnya mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara lelaki dan perempuan sebagai berikut:
Laki-laki (Masculine) Perempuan (feminine)
Sangat agresif Tidak terlalu agresif
Independen Tidak terlalu independen
Tidak emosional Lebih emosional
Dapat menyembunyikan emosi Sulit menyembunyikan emosi
Lebih objektif Lebih subjektif
Tidak mudah terpengaruh Mudah terpengaruh
Tidak submisif Lebih submisif
Sangat menyukai pengetahuan eksakta Kurang menyukai pengetahuan eksakta
Tidak mudah goyah terhadap krisis M udah goyah terhadap krisis
Lebih aktif Lebih pasif
Lebih kompetitif Kurang kompetitif
Lebih logis Kurang logis
Lebih mendunia Berorentasi ke rumah
Lebih termpil berbisnis Kurang termpil berbisnis
Lebih berterus terang Kurang berterus terang
Memahami selak-beluk perkembangan dunia Kurang memahami selak-beluk perkembangan dunia
Berperasaan tidak mudah tersinggung Berperasaan mudah tersinggung
Lebih suka berpetualang Tidak suka berpetualang
Mudah mengatasi persoalan Sulit mengatasi persoalan
Jarang menangis Lebih sering menangis
Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin Tidak umum tampil sebagai pemimpin
Penuh percaya diri Kurang rasa percaya diri
Lebih banyak mendukung sifat agresif Kurang senang terhadap sifat agresif
Lebih ambisi Kurang ambisi
Lebih mudah membedakan antara rasa dan rasio Sulit membedakan antara rasa dan rasio
Lebih merdeka Kurang merdeka
Tidak canggung dalam penampilan Lebih canggung dalam penampilan
Pemikiran lebih unggul Pemikiran kurang unggul
Lebih bebas berbicara Kurang bebas berbicara.

Konsep hukum dengan dasar al-Qur’a>n dan al-Hadith serta kaidah-kaidah Us}u>liyyah sebagai dasar teologis penetapan hukum larangan wanita sebagai presiden dan konsep perbedaan biologis yang telah menjadi rujukan para psikologis bahwa perbedaan biologis mempengaruhi watak dan tabi’at masing, maka lengkaplah menunjukan bahwa secara sanad atau maknanya sangat tepat dan rasional.
D. Kesimpulan
Demikianlah penulis menganggap bahwa orientasi dan pemaknaan hadi>th teresebut secara z}ahir masih dan logika tetap berlaku, namun hal ini juga bisa ditawar, bila suatu negara yang sama sekali tidak ada lelaki yang mampu mengendalikan negara selain wanita, maka hal itu sah saja, karena darurat. Karena yang paling penting dari semua dari persyaratan tersebut bukan karena gendernya, namun syarat-syarat yang lain, meminjam istihah Muhammad al-Ghaza>li>, adalah mereka adalah orang yang terbaik disekalian anak bangsanya.
Demikianlaj makalah ini saya sampaikan semoga bermanfaat.


Daftar Pustaka

Abd al-Kha>liq, Fari>d, Fi> al-Fiqh al-Isla>mi> Maba>di’ Dustu>riyyah al-Shu>ra> al-Adl al-
Musa>wah, (Da>r al-Shuru>q, 1998 M), diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, Pen. Faturrahman A.Hamid, Lc, Fikih Politik Islam, (Jakarta; AMZAH, 2005,)
Abu H{asan al-Mawardi> wa al-Wila>ya>t al-Di>niyyah, (Kairo; al-Maktabah al-
Tawfi>>qiyyah, 1978)
Abu Khali>l, Sawqi>, al-H{ad}a>rah al-‘Arabiyyah al-Isla>miyyah, (Libya, Tripoli; Kuliyyat
al-Da’wah al-Islamiyyah, cet. II, 1993)
al-‘Asqala>ni> al-Sha>fi’i>, Ahmad bin Ali> bin Hajar, Fath al-Ba>ri> Sharh S{ah}i>h} al-Bukha>ri>,
vol. VIII (Baeru>t; Da>r al-Ma’rifah, 1379 H)
Ahmad , Khurshid, (ed), Islam Its Meaning and Massage, The Islamic Foundation
al-Baghda>di>, Abd al-Qa>hir, al-Farq bain al-Firaq, (Baereu>t; 1973), 65-66, dan Lihat Na>ji>
H{asan, Thawrah Zaid bin Ali>, (Bahgda>d, 1966)
al-Baghawi>, al-Husain bin Mas’u>d, Sharh al-Sunnah, vol. X , tahqi>q; Shu’aib al-Arna>u>t}
dan Muhammad Zuhair al-Sha>wi>sh, (Baerut-Damascus; al-Maktab al-Isla>mi>,
1983)
al-Baihaqi>, Abu Bakr Ahmad bin al-H{usain bin ‘A
  • , al-Sunan al-Baihaqi> al-Kubra>, vol.
    III (India; Majlis Da>irah al-Ma’a>rif, 1344 H), 90
    Baltaji, Muhammad, Makanat al-Mar’ah fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-Sunnah al-S{ahi>hah,
    al-H{uqu>q al-Siya>siyyah wa al-Ijtima>iyyah wa al-Shakhs}iyyah li al-Mar’ah fi> al-Mujtama’ al-Isla>mi>, (Mesir; Da>r al-Sala>m, 2005 M)
    Black, Antony, The History of Islamic Political Thought; From the Prophet to the
    Present, (Edinburgh University Press, 2001), diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati dengan judul; Pemikiran Politik Islam, (Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)
    al-Ghaza>li>, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadi>th,
    (Da>r al-Shuru>q, cet.IV, 1989)
    ‘Ima>rah, Muhammad, al-Isla>m wa Falsafat al-Hukm, (Mesir-Kairo; Da>r al-Shuru>q, 1989
    M)
    al-Kha>lidi>, Mahmu>d Abd al-Maji>d, Qawa>’id Niz}a>m al-H{ukm fi> al-Isla>m, (Kairo; Da>r al-
    Buh}uth al-Ilmiyyah, 1980)
    Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka
    Utama, 2005)
    al-Nasa>i>, Ahmad bin Shu’aib bin Abu> Abd al-Rahma>n, Sunan al-Nasa>i> al-Kubra>, vol. III
    (Baeru>t; Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991)
    Pius A. Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya; Penerbit
    Arkola, tt)
    Rauf Izzat, Hibbah, Wanita dan Politik, Pandangan Islam, (Bandung, PT Remaja
    Rosdakarya, 1997) Judul aslinya adalah al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siya>si>, penerjemah; Bahruddin Fannani
    Rofiq, Ahmad, Fiqh Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (ed. Mu’ammar
    Ramadhan, DA), (Semarang; Pustaka Pelajar dan LSM DAMAR Semarang, 2004)
    al-Sanhu>ri>, Abd al-Razza>q Ahmad, Fiqh al-Khila>fah wa Tat}awwuruha> (Mesir; al-Haiah
    al-‘Ab, 1993)
    al-Siba>’i>, Mus}t}afa>, al-Mar’ah baina al-Fiqh wa al-Qa>nu>n, (al-Maktab al-Isla>mi>, 1404
    H/1984M)
    al-Shaiba>ni>, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal, vol. V (Kairo;
    Qurtubah, tt)
    al-T{abari>, Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k (Ta>ri>kh al-
    T{abari>), vol. II (Baeru>t; Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah)
    al-T{aya>li>si>, Sulaima>n bin Dawu>d Abu> Da>wud al-Fa>risi> al-Bas}ri>, Musnad Abi> Da>wud al-
    T{aya>li>si>, (Baerut; Da>r al-Ma’rifah, tt)
    al-Turmudhi> al-Salami>, Muhammad bin ‘Isa> Abu> ‘Isa>, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h, Sunan al-
    Turmudhi>, vol. IV (Baerut; Da>r Ihya> al-Tura>th al-‘Arabi>,t.t)
    Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta;
    Paramadina, 2001)
    Unger, Rhoda K. Female and Male Psychological Perspective, (New York, Philadelphia,
    san Francisco, & London, 1979), 30
    al-Z{a>hiri>, Ali> bin Ahmad bin Sa’i>d bin Hazm, al-Fas}l fi al-Milal wa al-Ahwa>I wa al-
    Nihal, vol. VI (Mesir-Kairo; Maktabah al-Khanji>, tt)
    al-Zuhaili>, Wahbah , al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuhu, vol. VIII (Damascus; Da>r al-Fikr,
    tt)
    al-Zuh}aili>, Wahbah, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, vol. II (Damascus; Da>r al-Fikr, 1996)
  • Tanya Jawab Agama

    diasuh oleh: Tim SMP Takhassus
    tanya jawab seputar hukum islam dan perbandingan madzhab

    Pertentangan Sekte Hukum Islam

    POLARISASI AHL AL- HADITH DAN AHL AL-RA’Y
    Oleh : Abu Zacky Muhyiddin Dawoed
    A. Pendahuluan
    Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madhhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadis dalam memahami ayat-ayat al-Qur'a>n dan kelompok kedua, adalah mereka yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl al-ra'y. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan dipelopori Imam Ma>lik bin Anas dan kelompok kedua berkembang di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu> Hani>fah. Fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi tempat kepada hadis-hadis meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional. Imam Sha>fi'i> sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.
    Dalam hal ini, penulis akan menulis tentang polarisasi atau pertentangan kedua orientasi fiqh ini, namun sebelum itu, penulis membagi bahasan-bahasan pokok yang terkait dengan makalah ini, yaitu; terdiri dari beberapa bab :
    A. PENDAHULUAN
    B. PENGERTIAN DAN DEFINISI AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
    C. SEJARAH HUKUM ISLAM DAN TIMBULNYA MADHHAB-MADHHAB
    D. KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHUSUS DAN SUMBER HUKUM AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
    E. POLARISASI AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
    F. PENUTUP
    G. DAFTAR PUSTAKA
    B. PENGERTIAN AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
    Istilah Ahl al-Hadith dan Ahl al-Ra’y dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam lebih diarahkan pada perbedaan pendekatan dalam memahami dan menginterpretaskan nas}-nas} hukum. Ahl al-hadith kelompok fuqaha> yang dalam beristimbat banyak menyandarkan pada informasi teks (naqliy) dan menempatkan akal tidak lebih sebagai instrumen yang bersifat sekunder dalam proses istimba>t} hukum. Sedangkan ahl al-ra’y adalah merupakan kelompok fuqaha> yang intensitas penggunaan akal/ra’yu-nya lebih kuat dan dominan dalam melakukan istimba>t} hukum. Lebih lengkapnya penulis akan menjelaskan pengertian kedua madrasah ini secara lebih spesifik.
    1) Devinisi Ahl al-Hadi>th
    Untuk kelompok pertama; Madrasat Ahl al-Hadith juga sering disebut dengan Madrasat al-Madi>nah atau Madrasat al- Hija>z (dinisbatkan kepada Kota dimana madzhab ini lahir dan berkembang). Dinamakan Madrasah Ahl al-Hadits dikarenakan banyaknya periwayatan hadith diantara mereka dikota Hijaz, karena kurang dibutuhkannya menggunakan al-ra’y dalam Ijtihad dan karena belum ada persoalan-persoalan yang rumit. Al-Shahrasta>ni> mengatakan :
    “Mereka menyebut dengan nama as}ha>b al-hadith (demikian al-Shahrasta>ni> menyebut) dikarenakan perhatian mereka dalam pencarian hadith-hadith, periwayatannya serta memberikan pondasi hukum-hukum dalam koridor teks-teks. Mereka tidak merujuk kepada qiyas selama mereka menemukan al-hadith atau al-athar” .
    2) Defenisi Ahl al-Ra’y
    Kata al-ra’y dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari fi’il; رأى – يرى رؤية و رأيا yang berarti; opini, pemikiran, pendapat atau konsep. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, bahwa kalimat al-ra’y adalah masdar dengan menggunakan maknanya isim maf’ul (al-ra’y; obyek/hasil apa yang dipikirkan) . Sedangkan untuk kalangan pakar hukum islam adalah pemikiran yang mendalam atau penggunaan nalar dalam kasus-kasus hukum yang tidak ada penjelasan teksnya. Dikalangan para sahabat kalimat al-ra’y sering digunakan untuk istilah hasil ijtihad-ijtihad mereka yang bedasarkan maslahat , qiya>s , istihsa>n dan lain sebagainya, dan juga berarti penafsiran teks-teks dan penjelasan tentang wajh al-dila>lah (orientasi makna), sebagaimana ungkapan Abu> Bakar r.a tentang makna al-Kala>lah; “saya berkata dengan pendapatku (al-ra’y) bahwa makna al-kala>lah adalah; selain anak ataupun ayah”. Adapun al-ra’y secara terminologi (istilah) Dr. Sayyid Muhammad Musa Tuwa>na mengungkapkan banyak berbedaan tentang pemaknaan al-ra’y , ialah :
    Pertama : al-Imam Fakhr al-Razy berkata; al-ra’y adalah qiya>s, karena bila kita katakan pada seseorang; “anda berbicara dengan dasar pendapatmu (ra’yuka) atau dengan dasar teks?” , hal ini menunjukan bahwa kedua kata tersebut saling behadapan atau kontradiksi, dimana al-ra’y adalah pengambilan hujjah yang tidak melalui teks-teks baik eksplisit maupun implisit . Imam al-Sarakhshi> mengatakan bahwa al-ra’y tidak tidak menjadi hujjah penentuan hukum secara independen, akan tetapi ia adalah perangkat untuk menjembatani hukum yang berdasarkan nash/teks dengan padanannya (al-Naz}ir) yang tidak memilki nas} . Dan mereka yang meniadakan qiya>s mendefinisikan bahwa al-ra’y yang dimaksud dan dicaci para sahabat adalah qiya>s, sebagaimana ungkapan Umar r.a : “Jangan sampai kalian menjadi ashab al-ra’y, karena mereka adalah musuh sunnah-sunnah Nabi, dimana hadits-hadits tidak bisa dihitung oleh mereka, namun mereka berbicara dengan al-ra’y, mereka adalah sesat dan menyesatkan” . Sedangkan mereka yang memakai qiyas memberikan pemaknaan al-ra’y yang terdapat dalam perkataan-perkataan para sahabat Nabi yang mereka sendiri telah melakukannya, adalah qiya>s, sebagaimana ungkapan Ibnu Mas’u>d r.a : “Saya berbicara tentangnya dengan pendapatku (al-ra’y), bila benar, maka itu sejatinya dari allah swt, bila salah, maka itu adalah dari setan, sedangkan Allah swt dan Utusan-Nya bebas dari pendapat itu ”. Hal ini telah menjadi hujjah tentang qiya>s bagi mereka berupa konsensus para sahabat Nabi atas diperkenankannya melaksanakan al-ra’y, dan al-ra’y bagi mereka adalah qiyas.
    Ketiga : ada yang mengatakan al-ra’y adalah bentuk ijtiha>d selain qiya>s, juga ijtiha>d dengan berdasar teks-teks yang tidak pasti dila>lah-nya, adapula berarti; ijtihad dengan berdasarkan teks-teks, berpegang dengan kaidah al-bara’ah al-ashliyyah (hukum asal) dan berpegang dengan asas maslahat dan iht}iya>t (asas kehati-hatian) , dan ada pula yang mengatakan bahwa al-ra’y adalah sesuatu yang bisa menjembatani untuk bisa sampai pada hukum melalui pencarian dalil (istidla>l) dan qiya>s. Karena itu ketika ada dila>lah atau orientasi makna yang pasti, sebagaimana dilalah ijma>’ ataupun hukum yang memiliki teks maka tidak dikatakan al-ra’y .
    Demikian pula al-Imam al-Dahlawi> berpendapat bahwa al-ra’y adalah penyamaan sesuatu yang serupa dengan yang sama yang memiliki teks dan mengembalikan pada dasar dari al-Us}u>l, tanpa perlu menelusuri hadis-hadis atau atsar . Muhammad Sayyid Tuwa>na mengkutip pendapat al-Dahlawi> bahwa al-ra’y merupakan penetapan hukum atas asas keleluasaan (daf al-harj) dan asas maslahat sebagai ‘illat hukum. Maka dengan demikian bahwa al-ra’y lebih spesifik dari makna ijtihad. Ada juga yang mengatakan adalah setiap yang memiliki makna ijtiha>d (pengerahan upaya untuk mengenali hukum) baik berdasarkan teks-teks ataupun tidak.
    Lebih jauh lagi Muhammad Sayyid Tuwa>na mengutip beberapa definisi lagi dari statemen para sahabat dan tabi’in serta imam-imam diantaranya adalah :
    a) Al-Ra’y menurut Sahabat

    1. Bahwa al-ra’y adalah qiya>s dan penentuan hukum dengan konsep maslahat, diantara mereka banyak yang memakai qiya>s dan juga banyak yang memakai asas maslahat.
    2. Pengabilan dengan qiya>s dan istihsa>n.
    3. Sebagaimana yang terlihat dalam fatwa-fatwa mereka bahwa al-ra’y adalah; hukum yang berdasarkan kaidah-kaidah umum, sebagaimana; “La dara>ra wala Dira>ra”, inilah yang kemudian disebut dengan al-maslahat al-mursalah, namun kemudian para fuqaha> khawatir bahaya dari kebebasan al-ra’y dengan mengindahkan al-sunnah, maka mereka mempersempit peranannya, dengan harus merujuk pada hukum asal hukum yang tertentu (yang jelas) yang mashush (memiliki rujukan teks), ini yang disebut dengan qiya>s. al-Ra’y juga sering disebut perujukan terhadap al-us}u>l al-‘a>mma>h (prinsip-prinsip umum), istilah lainnya adalah istihsa>n.
    4. Adalah qiyas atau sesuatu yang tidak jauh dari itu.
    5. Adalah juga pengambilan al-qiya>s, al-bara>’ah al-as}liyyah (prinsip hukum asal; bahwa sesuatu itu asalnya boleh kecuali ada teks yang melarangnya), sadd al-dhara>’i’/al-dhari>’ah (tindakan prefentif agar tidak terjerumus kepada hal yang dilarang) dan pengambilan hukum dengan asas al-mas}a>lih al-mursalah
    6. Menurut para pakar hukum masa sekarang, al-ra’y yang biasa menjadi istilah para sahabat dalam istimbat hukum adalah; ijtiha>d dengan makna yang umum baik dalam pemaknaan al-kita>b, al-sunnah dan lain sebagainya.

    b) Al-Ra’y menurut Tabi’in

    1. Al-Ra’y adalah qiya>s, istihsa>n, sunnah, athar, ‘urf (tradisi) dan lain sebagainya, dimana kesemua itu tanpa mereka disandarkan pada Rasulullah saw.
    2. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ra’y adalah lawan kata dari al-ilm yang menurut mereka adalah; sesuatu yang didengar dari Nabi saw baik al-qur’an maupun al-sunnah, maka al-ra’y adalah; proses ijtiha>d yang bila tidak ditemukan al-nas}/teks ataupun ijma>’.
    3. Melaksanakan qiya>s dan istihsa>n sebagaimana menurut para sahabat.
    4. Ataupun merupakan bentuk dari ungkapan yang masyhur apa yang dilakukan al-Imam Abu> Hani>fah sebagai Imam ahl al-ra’y, berupa; pengambilan fatwa sahabat, ijma>’, qiya>s, istihsa>n dan ‘urf.

    c) Para Imam yang terkenal

    1. Imam al-Sha>fi’i> menggunakan al-ra’y adalah memiliki makna ijtiha>d dan ijtiha>d menurutnya adalah sama dengan qiya>s.
    2. Ibnu Hazm adalah istihsa>n dan istimba>t} hukum yang tidak bersandar pada nas} ataupun ijma’.
    3. Ibnu al-Qayyim mengatakan al-ra’y adalah; apa yang telah dimantapkan hati setelah melalui proses pemikiran, perenungan dan pencarian hukum yang benar dari persoalan-persoalan yang saling berlawanan.
    Dalam hal ini pula Dr. Umar Sulayma>n al-Ashqar mengatakan bahwa ahl al-ra’y adalah mereka yang banyak cenderung menjelaskan hukum Islam dengan melalui nalar pemikiran dan qiya>s, akan tetapi mereka bukan berarti tidak mengindahkan al-Qur’a>n atau al-Sunnah. Ahl al-ra’y dalam istilah yang lain adalah Madrasat al-ra’y juga sering disebut juga Madrasat al-Ku>fah atau al-Ira>q (dinisbatkan kepada Kota dimana madzhab ini lahir dan berkembang) yang kemudian dinamakan Madrasat ahl al-ra’y.
    Demikianlah pemaknaan dari definisi antara ahl al-hadith dan ahl al-ra’y. Dan kemunculan kedua kelompok ini tidak lepas dari fragmentasi sejarah, bahwa kedua kelompok ini memunculkan madhhab-madhhab fiqh yang merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tashri>’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Fenomena perkembangan tashri>’ seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tashri>’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Munculnya madhhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madhhab-madhhab fiqh, sebagai contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin al-Khat}t}a>b dengan Ali> bin Abi> T{a>lib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madhhab-madhhab yang dianut. Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tashri>’, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya :
    1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
    2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqh, yang diberi nama al-Madhhab atau al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut diteruskan oleh murid-muridnya.
    3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madhhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya .
    Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madhhab hukum Islam. Dengan demikian, maka penulis menganggap perlunya memahami isilah ahl al-hadi>th dan ahl al-ra’y mulai dari dimensi kesejarahan, karena Kemunculan dua kubu orientasi fiqh ini adalah produk sejarah yang memiliki titik mula. Oleh karena itu pembahasan persoalan polarisasi antara ahl-alhadith dan ahl al-ra’y harus mengangkat sejarah rancang bangunnya hukum Islam mulai dari periode perdana dimana Rasululla>h saw hidup.
    C. SEJARAH HUKUM ISLAM DAN TIMBULNYA MADZHAB-MADZHAB
    Dalam hal ini para ulama telah mempetakan sejarah hukum islam dengan sistem periodeisasi, ada yang Kemudian diantara mereka ada yang membagi empat periode dan al-Syeikh Muhammad al-Khudari> Bek sendiri membagi atas 4 (empat) periode :
    1. Fiqh Periode Rasulullah saw
    Pada periode ini adalah periode perdana perjalanan fiqh atau hukum Islam, dimana sumber utamanya adalah al-Qur’a>n kemudian al-Sunnah , karena itu Rasulullah saw memiliki dua tugas, pertama; menyampaikan wahyu kepada manusia, dan kedua; merealisasikan (dan menjelaskan) ayat-ayat al-Qur’a>n tersebut dalam kehidupan nyata kaum muslimin. Pada masa ini Nabi saw ketika ditanya persoalan atau telah terjadi peristiwa yang baru, yang membutuhkan jawaban, maka Nabi saw menunggu turunnya wahyu atau beliau ber-ijtihad dan kemudian beliau memunculkan hukum dari ijtiha>d tersebut dan Allah swt membenarkannya bila ijtihad-nya benar. Dan ijtiha>d Rasul ini tak lain adalah bersumber dari Qanu>n Allah dan Shari’at-Nya dengan memperhatikan pertimbangan maslahat serta asas musyawarah dengan para sahabatnya, karena itu setiap undang-undang hukum yang muncul dari Rasulullah saw baik langsung dari Allah atau ijtiha>d-nya kemudian diakui oleh Allah swt adalah merupakan al-Tashri>’at al-Ila>hiyya>t (hukum Tuhan) . Ijtiha>d (selain Rasul) pada masa ini tidak memiliki tempat yang luas, karena proses wahyu masih belum berakhir, bukan berarti tidak ada Ijtihad sama sekali. Pada masa ini pula para sahabat melakukan ijtiha>d, disebabkan karena mereka jauh dari Nabi karena perjalanan, sebagimana ijtiha>d yang dilakukan oleh Amr bin ‘Ad ini.
    Mengomentari munculnya ijtiha>d dengan al-ra’y, Jalaluddin Rahmat menulis : Banyak para sahabat membagi perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu;
    Pertama; yang berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah) dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak disebut huquq al-'ibad). Mereka menerima yang pertama secara ta'abbudiy.
    Kedua; secara ta'aqquliy. Pada bagian kedua, Rasululla>h saw sering berijtihad, ijtihadnya boleh jadi benar atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan : "Kamu lebih tahu urusan duniamu?". Bukha>ri meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibnu 'Abbas disebut sebagai "tragedi hari Kamis". Dalam keadaan sakit, Nabi menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan wasiatnya. "Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya", kata Nabi. Umar berkata, "Nabi saw dalam keadaan sakit parah, di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab Allah itu." Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit Nabi melahirkan ijtiha>d Nabi yang tidak perlu diikuti. Para ahli hadis meriwayatkan berbagai peristiwa ketika ijtiha>d Nabi berbeda dengan ijtiha>d 'Umar dan Allah membenarkan ijtiha>d 'Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan 'Umar mengusulkan untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun membenarkan Umar, diriwayatkan bahwa Nabi saw, disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali kekeliruan ijtihadnya. 'Umar bertanya: "Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis ? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan menangis, kalau tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan Anda." Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Nabi. "Seandainya azab turun," kata Nabi, "Tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn al-Khat}t}a>b." Hadis-hadis di atas - walaupun keabsahannya harus kita teliti secara kritis - merupakan justifikasi terhadap peluang menggunakan ra'yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari ijtiha>d Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di dalamnya, Ibnu Abi> al-Hadi>d membenarkan kedua sahabat itu. Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan ijtiha>d dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan membantahnya." Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madhhab pemikiran mereka sebagai madhhab Umari>. Sebagai lawan mereka - dalam pemikiran - adalah madhhab A, yang terdiri atas sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali> bin Abi> T{a>lib. Mereka yang tidak membedakan huqu>q al-'ibad dan huqu>q Allah dalam instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tashri>', tidak ada ijtiha>d Nabi. Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya." (QS 53:3). Ketika Umar dan Uthma>n pada zamannya, masing-masing melarang haji tamattu, sedangkan Ali> menentangnya. Ibnu Kathi>r, dalam kitab tari>kh-nya, menulis :
    "Para sahabat r.a. sangat takut kepada Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar kecuali Ali> bin Abi T{a>lib, yang berkata: "Barang siapa melakukan tamattu', ia sudah menjalankan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya." Ketika Ali menegur Uthma>n yang melarang tamattu', Utsman berkata: "aku tidak melarangnya. Ini hanyalah ra'yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil ra'yu-ku, kalau tidak, tinggalkan saja."
    Periode ini berakhir sampai wafatnya Rasulullah saw, yaitu tahun 11 Hijriyyah. Kemudian disusul oleh periode berikutnya yaitu fiqh periode Sahabat-sahabat besar atau terkenal dengan fiqh periode al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n.

    2. Fiqh Periode Sahabat-sahabat Besar atau Periode al-Khulafa al-Rasyidin (Berawal dari Tahun 11 Hijriyyah S/D 40 Hijriyyah)
    Fiqh periode ini memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemikiran Islam.
    Pertama : sahabat - sebagaimana didefinisikan ahl hadits – adalah; orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam . Dari marekalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.
    Kedua : zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tashri>’. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tashri>’ orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru . Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan ijtiha>d pada zaman sahabat, al-Syaikh Muhammad Abu Zahrah menulis:
    “Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra’yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra’yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdulla>h bin Mas’u>d; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nas}, sebagaimana Umar bin al-Khat}t}a>b”.
    Dan pola pemikiran para sahabat atas dasar al-ra’y inilah yang akan mempengaruhi generasi tabi’in yang pada akhirnya melahirkan metodologi tertentu dalam istimba>t hukum dan menjadi 2 kelompok madrasat al-ra’y atau ahl al-ra’y dan madrasah ahl al-hadith. Dan inilah yang penulis maksudkan sebagai embrio ilmu fiqh yang pertama.
    Ketiga : ijtiha>d para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Al-Imam al-Sha>t}ibi> menulis :
    “Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan. ”
    Dalam perkembangan ilmu fiqh, madhhab sahabat – sebagai ucapan dan perilaku yang keluar dari para sahabat – akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas, mas}a>lih mursalah dan sebagainya. Madhhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat, sebagian menganggapnya sebagai hujjah mutlak, sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas, sebagian lainnya hanya menganggap hujjah pada pendapat Abu> Bakar dan Umar saja, berdasarkan hadith (”berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar”); dan sebagian yang lain, berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan al-Khulafa>’ al-Ra>shidi>n .
    Keempat : ini yang terpenting, ahl al-sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik (al-s}aha>biy kulluhum ‘udu>l) .
    Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting adalah al-khulafa> al-ra>shidu>n. Bila mereka sepakat, pendapat mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh, bila mereka ikhtilaf, madhhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit diatasi, lalu mengapa mereka ikhtila>f ?
    Dalam hal ini al-Shaekh Muhammad Abu> Zahra menulis sebab-sebab perbedaan mereka. Beliau membagi sebab-sebab perbedaan menjadi 2 bagian.
    Pertama : perbedaan tentang teks-teks yang adakalanya karena perbedaan pemahaman, karena memang teks itu sendiri mengandung dua intrepetasi, sebagaimana kalimat al-Quru>’ yang memiliki dua arti, haid dan suci, dan adakalanya karena pertentangan arti lahir dari teks.
    Kedua : perbedaan mereka karena al-ra’y yang merupakan bab yang sangat luas, karena setiap mujtahid memiliki pendapat atau orientasi dan metodologi yang berbeda, dan sebab kedua ini yang melahirkan banyak perbedaan. Walaupun mereka menggunakan al-ra’y sebagai metodologi istimbat hukum, namun mereka sebenarnya kurang suka berdasar pada al-ra’y, karena kekahwatiran mereka terhadap sesorang yang berbicara dalam persoalan agama tanpa memiliki dasar ilmu, karena itu pula kebanyakan dari mereka membenci penggunaan al-ra’y.
    Al-Shaekh Muhammad al-Khudari> Bek mencatat dasar-dasar fiqh sahabat ini sebanyak empat; al-Qur’a>n (referensi pokok), al-Sunnah, al-Ra’y (penalaran; adalah cabang dari kedua referensi diatas) dan al-Ijma>’ (dan merupakan kemestian bahwa penggunakan ijma’ mereka berdasarkan atas al-Kita>b, al-Sunnah ataupun al-Qiya>s) .

    3. Fiqh Periode Para Sahabat Kecil dan Fiqh Tabi’in yang betemu dengan mereka (dimulai dari kekuasaan Mu’a>wiayah bin Abi> Sufya>n (41 H) – Permulaan abad ke II Hijriyyah.
    Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa tampilnya imam-imam madhhab. Di satu pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi.
    Nama Tabi’in adalah nama yang Allah swt berikan kepada generasi setelah masa sahabat – wa al-ladi>nat taba’u>hum bi ihsa>n -, mereka adalah murid-murid sahabat-sahabat Nabi saw. Setelah generasi sahabat paripurna, para tabi’in menemukan dua kekayaan pemikiran hukum, pertama; kekayaan riwayat, kedua; kekayaan hasil ijtihad fiqh. Jadi tugas mereka memiliki dua tugas, yaitu:
    Pertama : menghimpun dua kekayaan yaitu kekayaan riwayat hadits-hadits Nabi saw dan menghimpun hasil pemikiran para sahabat dan ijtihad-ijtihad mereka.
    Kedua : mereka melakukan ijtiha>d, bila mereka tidak mengetahui pendapat sahabat, tidak ada teks al-Qur’a>n maupun al-Sunnah. Dan metodologi ijtiha>d mereka sama dengan metodologi sahabat. Namun penghimpunan dua kekayaan pemikiran hukum ini tidaklah mudah, disebabkan karena terpencarnya para sahabat ke daerah-daerah lain (Irak, Syam dan lain sebagainya) .
    Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadis, Umar 537 hadis, Uthma>n 146 hadis, Ali> 586 hadits. Jika semua hadis mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadis, kurang dari 27% hadis yang diriwayatkan Abu> Hurairah (Abu> Huraiah meriwayatkan 5374 hadis, karena itu, para ta>bi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa> al-Ra>shidi>n. Dalam pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, al-Shaekh Muhammad Abu> Zahra> menulis:
    “Sebenarnya sebelum dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak, bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar bin Khat}t}a>b menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan kota itu. Pertama; 'Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka. Kedua; ia mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Uthma>n memerintah, mereka diizinkan keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar, seperti Abdulla>h bin Mas'ud, Abu> Mu>sa> al-‘Ash'ari>, dan lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn Mas'u>d di Iraq, Abdullah bin Umar serta ayahnya al-Fa>ruq, Zaid bin Tha>bit dan lain-lain di Madinah. Kebanyakan, menurut Abu> Zahrah, murid-murid sahabat itu para mawali (non Arab). Fiqh ta>bi'in, karena itu, umumaya fiqh mawa>li>. Dari sahabat, para tabi'in mengumpulkan dua hal: Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat (aqwa>l al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara ta>bi'i>n yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga sahabat berguru pada mereka. Qa>bus bin Abi> Dabiya>n berkata: “Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan mendatangi 'Alqamah”. Ayahku menjawab : “Aku menemukan sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada 'Alqamah dan meminta fatwanya”. Ka'ab al-Akhba>r sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas, Abu Hurairah, dan Abdulla>h bin Amr. 'Alqamah dan Ka'ab keduanya ta>bi'i>n. Ada tujuh orang faqi>h ta>bi'in yang terkenal (al-fuqaha>’ al- sab'ah): Sa'i>d bin Musayyib (wafat 93 H), 'Urwah bin al- Zubair (wafat 94 H), Abu> Bakar bin 'Abi>d (wafat 94 H), Al-Qa>sim bin Muhammad bin Abu> Bakar (Wafat 108 H), Abdulla>h bin Abdilla>h (wafat 99 H), Sulayma>n bin Yasar (wafat 100 H) dan Khari>jah bin Zaid bin Tha>bit (wafat ?). Di samping mereka ada 'Atha>’ bin Abi Rabbah, Ibra>hi>m al-Nakha>'>i, al-Shu'bi>, Hamma>d bin Abu> Sulaima>n Sa>lim mawla Ibnu Umar, dan 'Ikrimah mawla Ibnu Abba>s”.
    Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Ta>bi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf (klasik). Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan 'Uthma>n, Khali>fah ke-III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti Khawa>rij, Shi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham, dan pertikaian itu antara lain menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadis atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat. Melukiskan keadaan yang ruwet itu. Must}afa> al-Siba>'I,> mengetengahkan keterangan di bawah ini;
    “Tahun empat puluh Hijriyyah adalah batas pemisah antara kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah perselisihan antara 'Ali> dan Mu'a>wiyah berubah menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar orang-orang Muslim memihak 'Ali> dalam perselisihannya dengan Mu'a>wiyah, sedangkan kaum Kha>warij menaruh dendam terhadap Ali> dan Mu'a>wiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri sebelumnya merupakan pendukung 'Ali> yang bersemangat.
    Setelah 'Ali> r.a. wafat dan Mu'a>wiyah habis masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada dinasti Umayyah. Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'a>n dan Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'a>n dan al-Sunnah itu untuk setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'a>n tidak menurut hakikatnya dan membawa nas}-nas} Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka, setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap al-Qur'a>n karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya. Dari situlah mulai pemalsuan hadith dan pencampuradukan yang sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para pemalsu hadis itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok mereka.
    Nurcholis Majdid menulis tentang hal ini demikian :
    “Di bawah pimpinan Khali>fah Mu'a>wiyah yang masa kekhalifahannya disebut Ibnu Taymiyyah sebagai permulaan masa "kerajaan dengan rahmat" - al-mulk bi al-rahmah -, kaum Muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan 'Umar (zaman al-Shaekha>ni>, "Dua Tokoh") yang amat dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan" yang membunuh 'Uthma>n (dan yang kemudian ikut mensponsori pengangkatan ‘Ali>, namun akhirnya berpisah dan menjadi golongan Khawarij. Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'a>wiyah itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para Khali>fah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu), tapi "koalisi" itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadis atau Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus. Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz (Makkah-Madinah) dengan orientasi hadis-nya, dan Irak (Ku>fah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya.
    Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Shaekh 'Ali> al-Khafi>f, Pada zaman itu (zaman Ta>bi'in), dalam ifta>’ (pemberian fatwa) ada dua aliran :
    Pertama aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, qiyas, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai dasar ijtihad, tempatnya ialah Irak.
    Kedua aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau "petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak. Hijaz adalah tempat tinggal kenabian, di situ Rasul menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi di tempat tinggal banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Ta>bi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana. Disamping itu pula ingkungan Hijaz adalah lingkungan yang sedikit tumbuh kembangnya peristiwa-peristiwa baru, dengan demikian orientasi pemikiran penduduknya sangat dpengaruhi olehnya, sehingga sedikit pula pemikiran-pemikiran baru, lain halnya bila suatu daerah memilki banyak keberagaman budaya .
    Dalam masa ini mulai muncul dengan jelas dua perbedaan metodologi istimba>t hukum, disamping mereka sudah terbagi secara politik (Shi>’ah, Khawa>rij dan Jama>’ah), diantara mereka ada yang berpegang berpegang dengan riwayat hadis – bahkan lebih ekstrim dari masa sahabat – adapula menitik beratkan pada al-ra’y karena munculnya banyak pemalsuan hadis-hadis. Dengan peristiwa inilah muncul istilah fiqh al-ra’y dan fiqh al-athar.
    4. Fiqh Periode Para Imam Mujtahid (mulai dari awal abad ke II H – pertengahan abad ke IV)
    pada permulaan abad II Hijriyyah bermunculah orientasi-orientasi pemikian fiqh, dan pada masa ini pula masa kodifikasi dan masa imam-imam mujtahid membawa pengaruh dalam persoalan metotologi fiqh terhadap umat Islam. Dan setiap ulama memiliki usul al-istimbat dan metodologi yang berbeda dengan yang lain, demikian ini tercipatlah istilah al-madaris al-fiqhiyyah (kelompok-kelompok pemikiran fiqh). Maka karena itu al-mada>ris al-fiqhiyyah bukanlah merupakan bangunan yang dugunakan untuk belajar ilmu fiqh, akan tetapi adalah suatu metodologi atau teori hukum yang ciptakan oleh seorang al-Faqih, dan kemudian diikuti oleh yang lain yang pada akhirnya kemudian menjadi sebuah aliran.
    D. KARAKTERISTIK ATAU CIRI KHUSUS DAN SUMBER HUKUM AHL AL-HADITH DAN AHL AL-RA’Y
    Sebenarnya untuk melacak karakter atau ciri khusus dari dua kelompok pemikiran ini, kita bisa membaca apa yang telah ditulis penulis diatas, bahwa dengan mengelompokan mereka, mulai dari masa tabi’in dimana ahl al-hadits dipelopori oleh Sa’id bin al-Musayyib dkk, dan ahl al-ra’y dan al-qiyas dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Nakha’i, yang merupakan guru dari Hammad bin Abi Sulaiman, juga merupakan kakek guru dari al-Imam Abu Hanifah. Maka kita bisa melacak karakteristik pada macam-macam pemikiran kedua kelompok ini. Yang pertama (ahl-al-hadits) kemudian berkembang menjadi kelompok madzab Maliki, Syafi’i dan Hambali, sedangkan yang kedua berkembang menjadi kelompok madhhab Hanafi>.
    Dalam hal ini al-Syaekh Muhammad al-Khudary Bek menulis sikap-sikap ahl al-hadith dan ahl al-ra’y yang merupakan karakteristik yang membedakan kedua aliran ini, yaitu;
    Pertama : Ahl al-hadith, kiblat mereka adalah al-Sunnah sebagai penyempurna al-Qur’an, mereka sangat memperhatikan teks-teks al-Sunnah tanpa melihat ’illat atau sebab-sebab hukum dan tanpa melihat al-Ushu>l al-’An dan dikuatkan dengan al-Sunnah, begitu juga setiap bab fiqh memiliki dasar-dasar yang diambil dari al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Mereka tidak banyak meriwayatkan al-Sunnah, karena mereka sudah percaya diri kepada prinsip-prinsip umum. Dan mereka terkadang meninggalkan al-Qiya>s yang jelas dalam satu kasus demi al-ushul al-’ammah, yang kemudian dinamakan Istihsa>n.
    Dr. Sayyid Muhammad Yusuf Tuwa>na menulis; “ Ahl-al-Hadith lebih mengutamakan diam daripada berfatwa dengan qiya>s – sikap ini sama dengan sikap para mutakallimi>n karena mereka menganggap tidak ada tempat bagi akal dalam shari>’at - . sedangkan ahl al-ra’y mengambil qiya>s, dan menganggap suatu dalil shar’i>, bila mereka tidak menemukan dalil yang lebih kuat dari qiya>s. Untuk memudahkan pemilahan antara dua kelompok metodologi, penulis akan terlebih dahulu akan mengelompokan para ulama dari masa tabi’in sampai imam-imam madhhab terkenal dengar sumber hukum masing-masing, yaitu;
    I. KELOMPOK AHL AL-HADITH
    Kelompok ini menurut al-Shahrasta>ni> dinamakan juga Ashab al-Hadith, karena perhatian mereka terhadap pencarian hadis-hadis, periwayatannya dan rancang bangun hukum berdasarkan teks-teks. Mereka tidak merujuk pada qiya>s jaliy ataupun khafiy selama mereka menemukan hadits atau atsar” .
    Dr. Umar Sulaima>n al-Ashqar menulis : Pemimpin-pemimpin ahl al-hadith adalah, Imam Ma>lik, Sha>fi’i>, Ahamd bin Hambal, Sufya>n al-Thawri>” .
    Demikianpula al-Shahrasta>ni> menulisnya : |Ashab al-hadith adalah penduduk Hijaz, adalah pengikut Imam Malik bin Anas, pengikut Muhammad bin Idri>s al-Sha>fi’i>, pengikut Sufya>n al-Thawri> dan pengikut Da>wud bin Ali> al-As}fiha>ni>” .
    Sedangkan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah menulis riwayat dari al-Baiha>qi> dalam kitabnya, al-Madhkhal, dari Yahya> bin Muhammad al-’Amba>ri>, berkata : Ashab al-hadits adalah pengikut Ma>liki, S>ha>fi’i, Hambali, al-Rahawiyyah (pengikut Ima>m Ahmad bin Rahaweh) dan Khuzaimiyyah (pengikut Imam Muhammad Isha>q bin Khuzaimah).
    Selain mereka itu juga banyak diantaranya adalah para ulama abad ke II Hijriyyah, mereka adalah : Yahya> bin Sa’i>d al-Qat}t}a>n, Waki>’ bin al-Jarra>h, Sufya>n bin ’Uyainah, Shu’bah bin al-Hajja>j, Abd al-Rahma>n bin Mahdi>, al-’Awza>’i dan al-Laith bin Sa’i>d. Sedangkan ulama pada abad ke III Hijriyyah adalah : Ali> al-Madi>ni>, Yahya> bin Mu’i>n, Abu Bakar bin Abi Shaibah, Abu> Zar’ah al-Ra>zi>, Ibnu Jari>r al-T{abari>, al-Bukha>ri>, Muslim, al-Nasa>’i>, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ibnu Ma>jah dan Ibnu Qutaibah al-Dainu>ry. Demikianlah beberapa kelompok ahli hadis yang penulis istimbat dalil, karena itu penulis akan kemukakan sumber-sumber hukum ahl al-hadits.
    Imam Ma>lik menyusun paradigma hukumnya dengan sumber-sumber sebagai berikut; 1. al-Qur’a>n. 2. al-Sunnah. Imam Malik mengambil Hadis Mutawa>tir, Hadis Mashhu>r, dan Khabar al-Ad (namun Ma>liki> lebih mendahulukan Qiya>s dan Maslahat daripada Khabar al-Ad ini, dan dia mengingkari keafsahan nisbatnya kepada Nabi saw bila bertentangan). 3. al-Ijma>’. 4. Ijma>’ penduduk Madinah. 5. al-Qiya>s. 6. Pendapat sahabat (bila saling betentangan, maka ia memilih yang terkuat sanadnya dan paling sesuai dengan hukum-hukum Islam umum, dan ia menolak yang kedua). 7. al-Maslahat al-Mursalah. 8. al-’Urf (Tradisi). 9. Sadd al-Dhari>’ah (tindakan preventif). 10. al-Istihsa>n. 11. al-Istis}ha>b.
    Imam Sha>fi’i> sebagai berikut; 1. al-Qur’a>n dan al-Sunnah (menjadi satu paket, karena al-Sunnah adalah penjelas al-Qur’a>n, dan penjelas sama dengan yang dijelaskan). 2. al-Ijma>’. 3. Pendapat-pendapat sahabat. Dalam hal ini Imam Sha>fi’i> membagi tiga katagori, Pertama; Sesuatu yang telah terjadi ijma>’, sebagimana meninggalkan bumi yang telah dikuasainya kepada para petani setempat, dalam hal ini, tidak ada boleh pendapat lagi. Kedua; Satu pendapat sahabat, dan tidak ada yang sama atau berlainan (beliau mengambilnya sebagai hujjah). Ketiga; Sesuatu yang diperselishkan oleh para sahabat (dalam hal ini, Sha>fi’i> bersikap sebagaimana Abu> Hani>fah, yaitu memilih pendapat mereka yang lebih dekat dengan al-Qur’a>n, al-Sunnah, al-Ijma>’ ataupun pendapat yang dikuatkan dengan qiya>s yang lebih kuat). 4. Pendapat sahabat yang tidak ada yang berlainan. 5. al-Qiya>s. Sha>fi’i> tidak berijtihad dengan pintu al-ra’y kecuali dengan pintu al-qiya>s .
    Imam Hambali> sebagai berikut; 1. Berpegang pada teks, bila ada teks dan tidak berpaling pada yang lain (baik kepada al-ra’y, qiya>s, dan pendapat sahabat). 2. Pendapat sahabat yang tidak ada yang berlainan. 3. Memilih diantara pendapat-pendapat sahabat yang lebih dekat dengan al-Qur’a>n maupun al-Sunnah, bila berlainan, dan bila mereka bingung memilih, mereka tidak menyeleksi dengan jalan al-takhri>j, maka mereka hanya mengatakan ada khila>f, dan tidak ada selektifitas pendapat. Disini ada perbedaan dengan Sha>fi’i>, dimana Sha>fi’i> memilih atau mentarjih walau dengan jalan qiya>s – apa yang terkuat dari sisi qiya>s, itu yang dipilih -, sedangkan Hambali memilih yang didukung al-Qur’a>n maupun al-Hadi>th, dan ia tidak melirik kepada qiya>s, karena ia tidak mendahulukan qiyas atas qaul sahabat. 4. Hadis Mursal – hadis yang ra>wi-nya tidak melalui atau menyebutkan sahabat – dan hadis dai>’f – tapi tidak terbukti merupakan hadis palsu atau maud}u’ - , maka ia mengunggulkan atas qiya>s, karena ia sendiri membagi hadis antara s}ahi>h dan da’i>f (bukan hadits mungkar, batil dan palsu, hanya tidak memiliki kedudukan thiqqah 5. al-Qiya>s; yaitu bila tidak menemukan sumber-sumber diatas, atau bisa dikatakan bila darurat.
    II. KELOMPOK AHL AL-RA’Y
    al-Shahrasta>ni> menulis : Kelompok ashab al-ra’y, mereka adalah; Penduduk Irak, mereka adalah pengikut Imam Abu> Hani>fah, diantaranya adalah; Muhammad al-Hasan, Abu> Yu>suf Ya’qu>b bin Ibra>hi>m bin Muhammad al-Qa>di>, Zafr bin al-HudHail, al-Hasan bin Ziya>d al-Lu’lu’ay, Ibnu Samma>’ah, ’Adi>, Abu> Mut}i’ al-Balkhi dan Bishr al-Muraesi>”.
    Imam Abu> Hani>fah; menyusun paradigma hukumnya dengan sumber-sumber sebagai berikut; 1. al-Qur’a>n. 2. al-Sunnah. 3. Pendapat-pendapat sahabat. 4. al-Qiya>s (bila tidak terdapat dalam 3 point diatas). 5. al-Istihsa>n (hal ini dilakukan bila jalan qiyas menemui jalan buntu, yaitu dimana ia akan keluar dari qiya>s z}ahir menuju qiya>s khafi> , karena qiya>s z}ahir dianggap kurang sesuai pada bagian-bagian tetentu, dan ia mencari ’illat yang lain, atau qiyas z}ahir bertentangan dengan nas}, ijma>’ ataupun al-’urf. 6. al-Ijma>’ (semua sepakat bahwa ijma’ menjadi hujjah, akan tetapi mereka berselisih tentang kemungkinan ijma’ setelah masa sahabat, Imam Ahmad sendiri mengigkarinya. 6. al-’Urf; adalah merupakan tradisi orang muslim, atau tradisi sahabat yang tidak bertentangan dengan nas}.
    Dari sini kita bisa menilai bahwa sebenarnya di kalangan madhhab-madhhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra’y dan fiqh al-athar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk kontinum. Madhhab-madhhab itu berbeda dalam intensitas penggunaan nas} dan al-ra’y.
    Ali Yafie melukiskannya sebagai lingkaran-lingkaran :
    Lingkaran pertama, merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra’yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka: La al-ra’y fi> al-di>n (tidak ada tempat rasio dalam agama). Madhhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut madhhab al-Zahiri>, karena diprakarsai Da>wud al-Z{ahiri> yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla>. Disadari atau tidak, madhhab ini sebenarnya juga menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat sedikit.
    Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab ini disebut mazhab Hambali yang dipelopori Imam Ahmad ibn Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha’if harus lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak dilaksanakan di Saudi Arabia. Lingkaran ketiga; kelompok yang disebut madzhab Maliki yang dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka adalah al-Mashalih al-Mursalah. Lingkaran keempat; madzhab Syafi’i yang dipelopori Imam Syafi’i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih banyak menggunakan analogi atau qiyas. Lingkaran kelima; terakhir, adalah mazhab yang frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits. Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi.” Dengam demikian bisa disimpulkan bahwa garis pemisah keduanya sangat tipis, hanya pada intensitas pengunaan akal. Dan penulis akan menetengahkan pertentangan atau polarisasi yang terjadi pada kedua aliran ini.
    E. POLARISASI AHL ALHADITH DAN AHL AL-RA’Y

    al-Shaikh Muhammad al-Khudari> Bek mencatat pertentangan antara ahl al-ra’y dengan ahl al-hadith, dimana ahl al-hadith mencaci ahl al-ra’y, bahwa ahl al-ra’y meninggalkan sebagian hadis-hadis demi qiyas-qiyas mereka, namun al-Khudary Bek membantahnya dengan mengatakan :
    “Kami tidak melihat mereka mendahulukan qiyas daripada sunnah yang otentik dipandangan mereka, - kalau mereka dianggap meninggalkan sunnah – mungkin riwayat hadis tidak sampai kepada mereka atau hadits yang sampai kepada mereka dianggap kurang dapat dipercaya sanadnya, sehingga mereka berfatwa dengan al-ra’y, atau juga hadis tersebut bertentangan dengan sesuatu yang lebih kuat dipandangannya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Sufya>n bin ‘Uyainah, ia bercerita; suatu ketika Abu> Hani>fah dan Imam al-Awza>’i bertemu di Mekkah, kemudian al-Awza>’i bertanya kepada Abu> Hani>fah; kenapa anda tidak mengangkat tangkat ketika ruku>’ dan bangun dari ruku>’ ? Abu> Hani>fah menjawab; karena sandaran hukumnya samasekali tidak abash. al-Awza>’i berkata lagi; bagaimana hal ini tidak absah, yang menceritakan kepadaku adalah Imam al-Zuhri> dari Sa>lim dari Ayahnya dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengangkat tangan ketika iftita>h, hendak ruku>’ dan bangun darinya?, kemudian Abu> Hani>fah menimpali; telah bercerita kepadaku Hamma>d dari Ibra>hi>m dari ‘Alqamah dan al-Aswad dari Ibnu Mas’u>d bahwa Rasulullah saw tidak mengangkat tangan ketika itu, kecuali ketika iftita>h. Al-Awza>’i mengatakan; aku mengatakan demikian, kamu demikian. Abu> Hani>fah berkata lagi; Hamma>d lebih paham dari al-Zuhri> dan Ibra>hi>m juga lebih paham dari Sa>lim dan ‘Alqamah tidaklah dibawah Ibnu Umar, walupun Ibnu Umar memiliki keistimewaan sebagai sahabat, demikian pula al-Aswad juga demikian, dan Abdullah adalah Abdullah. Kemudian al-Awza>’i diam.
    Abu> Hani>fah memang hanya sedikit meriwayatkan hadis. Kata Ibn Khaldu>n, hal itu dikarenakan Abu> Hani>fah sangat memperketat syarat-syarat penerimaan hadis. Kata Dr. Ahmad Ami>n, kurangnya hadis pada Abu> Hani>fah menunjukkan bahwa ia tidak merasa puas dengan menyampaikan hadis saja, ia menguji hadis dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah pernah dilaporkan berkata: “Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama itu ra’yu yang baik ?. Barangkali ini penegasannya tentang keharusan nas} tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat yang diceritakan Ali> Hasan Abd al-Qa>dir :
    “Musuh-musuh Abu> Hani>fah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada hadis. Ia memprioritaskan al-ra’y dalam mengeluarkan keputusan fiqh. Ia menolak banyak hadis demi al-ra’y”.
    Abu> S{a>lih al-Farra> menuturkan :
    “Aku mendengar Yusuf bin Asbat} berkata : Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadis Nabi saw. … Kataku : “Berikan sebagian contohnya.” Katanya : “Rasulullah berkata, kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata Abu Hanifah : “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang Mukmin.” Rasulullah melakukan ish’a>r (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan kurbannya. Kata Abu> Hani>fah : “Ish’a>r adalah penganiayaan.” Nabi bersabda: “Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya berpisah.” Kata Abu> Hani>fah : “Bila jual beli wajib, tidak ada khiyar.” Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian. Kata Abu> Hani>fah : “Undian itu judi.” Kata mereka : “Pada zaman Abu> Hani>fah, ada empat orang sahabat. Abu> Hani>fah tidak tertarik untuk menemui mereka.” Ibn Abu> Shaibah dalam bukunya, pada bab khusus, menyebut hadis-hadis yang ditolak Abu> Hani>fah dan mencapai 150 hadis, salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu> Yu>suf, ia memegang jabatan qa>di> pada masa-masa kekhalifahan ‘Abba>siyyah, antara lain pada masa al-Mahdi>, al-Ha>di> dan al-Rashi>d. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madhhab Hanafi tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madhhab Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen mereguk ilmunya . Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak heran kalau Fazlur Rahman sering – bahkan paling sering– menyebut Abu> Yu>suf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya. Ia memuji Abu> Yu>suf karena memberikan penafsiran yang situasional kepada hadis yang “berdiri sendiri”, menerima hadis dengan sikap kritis, dan menetapkan “sunnah yang dikenal baik” sebagai kriteria terhadap “semangat dan sikap kolektif” dari hadis.
    Polarisasi antara kedua kelompok ini, mendapat penilaian dari Dr. Umar Sulaiman al-Ashqar dengan membandingkan Kedua kelompok itu secara jelas, beliau mengatakan :
    “Ahl al-hadith telah sangat baik dalam perhatian yang besar terhadap teks-teks hukum, baik secara hafalan, pembelajaran dan bertafaqquh, namun mereka, melakukan kesalahan dalam sikap mereka yang tekstual dan kurang memahami kandungan fiqh-nya. Sedangkan ahl al-ra’y telah sangat bagus, karena mereka bukan hanya memahami teks, namun mereka telah mendalami kedalaman makna teks-teks, kemudian mereka mencari ‘illat-‘illat hukum, memperluas cakrawala orientasi teks, memperhatikan isyarat-isyarat teks, meng-qiyas-kan hal yang sama dan serupa, akan tetapi mereka tidak terlalu memperhatikan keabsahan teks-teks sebagaimana mereka memperhatikan ‘illat-‘illat dan al-qiya>s, mereka tidak berupaya mencari teks-teks dan berupaya mengetahui teks yang s}ahi>h dan da’i>f.”
    Namun pada masa berikutnya terjadi pelencengan oleh sebagian kelompok ahl al-hadits, tidak sebagaimana para pendahulunya. al-Khat}t}a>bi> menceritakan kondisi zamannya, mengenai ahl al-hadi>th :
    “Mereka kebanyakan berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan pemisahan hadis-hadis ghari>b dan sha>dh --hadis-hadis yang kebanyakan mawdu>' dan maqlub. Mereka tidak memelihara matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya, dan tidak mengungkapkan kandungan fiqh-nya. Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencaci mereka dan menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha”.
    Contoh perbedaan pendapat Ahli Hadits dan Ahli Ra’yi
    KASUS PENDAPAT AHL AL-HADITS (FUQAHA HIJAZ) PENDAPAT AHL AL-RA’Y (FUQAHA IRAK)
    Zakat 40 ekor kambing adalah
    1 ekor kambing Harus membayar zakatnya dengan wujud satu ekor kambing sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum menjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. Muzaki wajib membayar zakatnya itu dengan 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan seekor kambing.
    Zakat fitrah itu 1 sha’ tamar (kurma) atau sya’ir (gandum) Harus membayar zakatnya dengan 1 sha’ tamar sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. Muzaki wajib membayar zakat fitrah itu dengan 1 sha’ tamar atau dengan harga yang senilai dengan 1 sha’ tamar tersebut
    Mengembalikan kambing yang terlanjur diperas air susunya, harus dikembalikan dengan denda 1 sha’ tamar Harus menggantinya dengan membayar 1 sha tamar sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. Menggantinya dengan harga yang senilai dengan ukuran air susu yang diperas berarti telai menunaikan kewajiban.

    Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa Ahl al-Hadi>th memahami nash-nash ini menurut apa yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tashri>’ (sebab disyariatkan). Sedangkan Ahl al-Ra’yi memahami nash-nash tersebut menurut maknanya dan maksud disyariatkannya oleh Sang Pembuat Shari’at, Allah swt.
    Sebab-sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut, adalah:
    REALITA YANG DIHADAPI AHL AL-HADITS REALITA YANG DIHADAPI AHL AL-RA’Y
    Memiliki kekayaan atsar-atsar (hadis dan fatwa sahabat) yang dapat digunakan dalam membentuk hukum-hukum dan dijadikan sandaran Tidak memiliki kekayaan atsar sehingga berpegangan atas akal mereka, berijtihad untuk memahami ma’qu>l-nya nas} dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam hal ini mereka mengikuti guru mereka Abdulla>h bin Mas’u>d ra.
    Menghadapi realita masyarakat yang cenderung homogen tanpa terjadinya hal-hal yang berpengaruh pada sumber-sumber tashri>’. Menghadapi realita terjadinya fitnah yang membawa pada pemalsuan dan pengubahan hadis-hadis. Karenanya mereka sangat hati-hati dalam menerima riwayat hadits, mereka menetapkan bahwa hadits haruslah masyhur di kalangan fuqaha’.
    Muamalat, aturan, dan tata tertib yang ada di Hijaz sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi Islam terdahulu yang memang tinggal di daerah tersebut. Kekuasaan Persia banyak meninggalkan aneka ragam bentuk muamalat dan adat kebiasaan, serta aturan tata tertib, maka lapangan ijtihad menjadi demikian luas di Irak. Para ulama biasa melakukan pembahasan dan menuangkan pemikiran.

    F. PENUTUP

    Bahwa polarisasi antara ahl-al-hadith dan ahl al-ra’y adalah bentuk keniscayaan sejarah hukum Islam, mereka terpola dengan banyak factor yang mempempengaruhinya, baik secara historis atau sosiologis. Mazhab ahl al-hadith dan ahl al-ra’y merupakan penyebab timbulnya madhhab-madhhab fiqh, dan madhhab-madhhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran madhhab-madhhab hukum dan dua abad kemudian madhhab-madhhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istimba>t hukum. Kelahiran madhhab-madhhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madhhab seperti Abu> Hani>fah, Imam Ma>lik, Imam Sha>fi>’i>, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtiha>d yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nas} al-Qura>n dan al-Hadi>th maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nas}.
    Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madhhab dalam melakukan istimba>t hukum.
    Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing madhhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istimba>t hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan us}u>l fiqh.
    Sampai saat ini Fiqh ikhtila>f terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu>’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nas} dan meng-istimbat-kan hukum yang tidak ada nas}-nya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan madhhab dan yang melarangnya.
    Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan madhhab-madhhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’a>n dan al-Sunnah.
    Demikianlah makalah ini dapat penulis ajukan, senoga bermanfaat.


    DAFTAR PUSTAKA

     al-Ghaza>li>, Abu Ha>mid Muhammad bin Muhammad, al-Mustas}fa fi ‘Ilm al-Us}u>l, Baerut-Libanon, Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H
     al-Dahlawy, Ahmad bin Abd al-Rahi>m Waliyullah. al-Ins}a>f fi Baya>ni Asba>b al-Ikhtila>f”, Bairut-Libanon, Da>r al-Nafa>’is, 1404 H
     al-Shahrasta>ni>, al-Milal wa al-Nihal, Da>r al-Ma’rifah-Baerut
     al-Sha>tibi> (wafat 790 H), al-Muwa>faqat, Da>r Ibnu ‘Affa>n, 1997, cet.I
     Mudzhar, Atho', Catatan-catatan kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam pada Fakultas Pasca Sarjana, IAIN Jakarta, 1990/1991. Diambil dalam Artikel Yayasan Paramadina, http;//media.isnet.org/islam/paramadina/index.html, diakses 20 April 2009
     Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
     Hamd bin Muhammad bin Ibrahim, Ma’alim al-Sunan, Ans}a>r al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1948,
     Hasan, H.KN. Sofyan, Hukum Islam; Bekal Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Literata Lintas Media, Jakarta, 2004
     al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyi>m, ‘Ila>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-‘An, Da>r al-Ji>l, Baerut-Libanon, 1973
     Taimiyyah, Ibnu, (Taqiyyuddi>n Abi> al-‘Abba>s Ahmad bin Abdul Hali>m), S}ihhat Us}u>li ‘Anah, Kairo, Maktabah al-Mutanabbi
     al-Fairuzaba>di> al-Shairazi> Abu> Isha>q, Ibra>hi>m bin Ali> bin Yu>suf, al-Tabs}irah fi> Us}u>l al-Sha>fi’iyyah, Damascus, Da>r al-Fikr, 1403 H
     Imam al-Sarakhsi>, Us}}u>l al-Sarakhsi>, Baerut-Libanon, Cet. I, 1993
     Rahmat,Jalaluddin, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh ; Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madhhab Liberalisme
    http://www.geocities.com/Pentagon/Quarters/1246/hukum.html. diakses 20 oktober 2009
     Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991
     ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1993
     al-Shauka>ni>, Muhammad bin Ali> bin Muhammad (w.1250 H), Irsha>d al-Fuhu>l ila> Tahqi>q al-Haq min ‘Ilm al-Us}u>l”, Damascus, Da>r al-Kitab al-‘Araby, 1999
     Abu Zahra, Muhammad, Tarikh al-Madha>hib al-Islamiyyah, Bairut-Libanon, Da>r al-Fikr.
     Salamah, Muhammad Khalf, Lisa>n al-Muhaddithi>n, al-Maktabah al-Sha>milah.
     al-Khudlary Bek, Muhammad, Tarikh al-Tashri’ al-Isla>mi>, Mesir, Mat}ba’ah al-Sa’a>dah, 1954
     Tuwana, Muhammad Sayyid Musa, al-Ijtiha>d wa Mada> Ha>jatina> fi> Ha>dha> al-‘Ashr, Mesir, Da>r al-Kutub al-Hadi>thah, 1972
     al-Husain al-Razy, Muhammad bin Umar, al-Mahs}u>l fi> ‘Ilm al-Us}u>l, Riya>d, Ja>mi’ah al-Ima>m Muhammad bin Su’u>d al-Isla>miyyah, 1400 H
     Musa, Muhammad Yusuf, al-Madkhal li al-Dirasat al-Fiqh al-Islamiy, Baerut-Libanon, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1953
     A.Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Islamabad; Risalah Bush, 1995
     al-Zarqa, Must}afa> Ahmad, al-Fiqh al-Isla>mi> fi> Thaubihi al-Jadi>d; al-Madhkhal al-Fiqhi> al-‘Abi’ al-Faba>’i> al-Adi>b, 1967
     Madjid, Nurcholis, Artikel Yayasan Paramadina, Sejarah Awal Penyusunan dan Pembukuan Hukum Islam
    http//media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/index.html, diakses 20 April 2009
     Baalbaki>, Ru>hi<, al-Mawrid a Modern Arabic-English Dictionary, Da>r al-Mala>yi>n, Bairut-Libanon, 1996
     al-Ashqar, Umar Sulaima>n, al-Madkhal Ila> al-Dira>sat al-Madaris Wa al-Madha>hib al-Fiqhiyyah, Yordania, Da>r an-Nafa>is, 1996
     http;//moenawar.multiply.com/journal/item/12/ TA<’: Sejarah Perkembangan Madhhab. Di akses 20 April 2009  al-Zuhaili>, Wahbah, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Damascus, Dal al-Fikr, 1996


    Dinamika Islam di Spanyol

    ISLAM DI SPANYOL
    DINAMIKA INTELEKTUAL
    Oleh : H. Muhyiddin Dawoed, S.S, M.Pd.I

    BAB I
    PENDAHULUAN
    Dalam masa lebih tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol , umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian Dunia kepada kemajuan yang kompleks. Baik kemajuan intelektual maupun kemegahan pembangunan fisik.
    Philip K. Hitti mengatakan: “…..kalangan muslim Spanyol telah menorehkan catatan yang paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada Abad pertengahan di Eropa. Antara abad ke-8 dan ke-13. Orang-orang yang berbicara bahasa Arab adalah pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu, mereka juga merupakan perantara yang menghubungkan ilmu dan filsafat Yunani klasik sehingga khazanah kuno itu ditemukan kembali. Tak hanya menjadi mediator, mereka juga memberikan penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat. Dalam sema proses tersebut, bangsa Arab-Spanyol mempunyai andil yang sangat besar” .
    Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam meneyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar Negara. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains disamping bangunan fisik. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rushd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rushdisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini. Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku Ibn Rushd dicetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 M di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rushd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran al-Fara>bi, Ibn Sina dan Ibn Rushd. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-1 4 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaissance) pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.
    Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:
    ….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting berada.
    Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristoteles, dan juga tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi. Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan intelektual. Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.
    Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
    Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn Khaldun membahas secara panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic), ilmu hukum waris, geometri, mekanik, penelitian, optik, astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
    Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn Khaldun di atas, pemikiran yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi ('umran) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban (hadarah) menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.
    Untuk dapat mengetahui lebih mendalam tentang dinamika intelektua islam di Spanyol, maka penulis akan memberikan informasi yang berkaitan di pembahasan ini, antara lain:
    1. Pendahuluan
    2. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan Islam Spanyol
    3. Kemajuan dan Dinamika Intelektual
    4. Penutup
    BAB II
    FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KEMAJUAN ISLAM SPANYOL
    Badri Yatim mengungkapkan bahwa factor-faktor yang mendukung kemajuan intelektual Islam Spanyol adalah ;
    Pertama: adanya penguasa yang kuat dan berwibawa, sebagaimana Abd al-Rahma>n al-Dakhi>l, Abd al-Rahma>n al-Wasi>t} dan Abd al-Rahma>n al-Na>s}ir.
    Kedua: keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijakan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muh}ammad Ibn Abd al-Rah}ma>n (852-886) dan al-H}akam II al-Muntas}ir (961-976).
    Ketiga: ditegakannya toleransi beragama oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga, mereka ikut berpartsipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen dan orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing .
    Keempat: kemajemukan masyarakat yang terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa serta kerjasama yang baik dari mereka dalam menyumbangkan kelebihan masing-masing.
    Meskipun ada persaingan antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya banyak sarjana mengadakan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dalam Islam. Dan adanya perpecahan politik pada masa Muluk al-Tawaif dan sesudahnya, tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan, merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol. Muluk al-Tawaif berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju.
    BAB III
    KEMAJUAN PERADABAN DAN DINAMIKA INTELEKTUAL SPANYOL
    Dalam masa lebih dari tujuh Abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaan dan kecemerlangan dalam ilmu pengetahuan, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan telah mempengaruhi peradaban eropa selanjutnya dan dunia .
    1. Peradaban dan Tradisi Intelektual Bani Umayyah
    a. Ekonomi
    Dari segi ekonomi pemerintahan Bani Umayyah Spanyol telah memperkenalkan sistim pertanian yang teratur, sehingga banyak menghasilkan produk pertanian sepanjang tahun, diantaranya adalah limau, tebu, padi dan kapas . Philip K. Hitti mengatakan bahwa kaum Arab Spanyol memperkenalkan metode pertanian yang di praktekan di Asia Barat. Mereka menggali kanal-kanal, menanam anggur, serta selain tanaman dan buah-buahan lainnya,. Mereka juga memperkenalkan padi, apricot, persik, delima, jeruk, tebu, kapas dan kunyit. Kemajuan pertanian merupakan salah satu sisi keagungan Spanyol-muslim dan menjadi hadiah abadi yang diberikan orang Arab didaratan itu .
    b. Kebudayaan dan Intelektual
    Dalam hal ini, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu; intelektual, sastra dan seni. Ketiga bagian ini telah berkembang pesat pada zaman Bani Umayyah di Spanyol, ditambah lagi bidang pendidikan.
    1) Bidang Intelektual;
    bidang yang paling maju berkembang pada zaman tersebut ialah bidang syari’ah, yakni hukum-hukum Islam yang bedasarkan al-Qur’an dan al-Hadith, disamping itu juga berdasarkan qiyas dan ijma’ ulama. Terdapat beberapa aliran atau madhhab yang popular dalam Islam, yaitu; Sunni, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Z}ahiri dan Auza>’i. akan tetapi di Spanyol pada waktu itu, hanya dua madhhab yang terkenal, yaitu; madhhab Auza’i dan Maliki (Sunni). Madhhab Awza’i yang berasal dari Syria diamalkan hingga tahun 800 M, setelah itu pengikutnya menganut madhhab Maliki yang berasal dari Madinah. Ini berlaku pada zaman al-H}akam I (796-822 M) yang telah menjadikan madhab Maliki sebagai madhhab resmi Negara. Diantara tokoh-tokoh madhab Maliki Spanyol ialah; Isa bin Dinor (w.827 M) dan Yahya> bin Yahya> al-Lati>f (w.847 M). Setelah itu muncul pula al-‘Utbi (w. 869 M), hal ini tidak bermakna bahwa madhhab-madhhab lain tidak sampai atau tidak diajarkan di Spanyol. Terdapat juga di kalangan sarjana Islam yang menganut madhhab selain Maliki. Misalnya Baqi Ibn Makhlad (w. 889 M) menganut madhhab Sha>fi’i>, Ibnu Hazm (w. 1064 M) menganut Madhhab Shafi’i>, kemudian beralih ke madhhab Z}a>hiri, dan al-Ja>hiz} (868 M) menganut madhhab Mu’tazilah, akan tetapi mereka ini merupakan kumpulan kecil dibandingkan dengan kumpulan Maliki. Sebagai madhhab resmi Bani Umayyah, kumpulan madhhab Maliki menjadi penasehat kerajaan dan mahkamah. Aktifitas mereka dianggap sebagai aktifitas intelektual yang penting dalam bidang keagamaan. Bisa dikatakan bahwa hingga akhir abad ke-10 M bidang kajian Islam yang paling berkembang di Spanyol adalah fikih madhhab Maliki. Disamping itu ilmu-ilmu agama yang lain, Hadith, Tafsir dan Ilmu Kalam turut diajarkan. Begitupula ilmu-ilmu dunia (umum) sebagaimana falsafah, perubatan (selepas tahun 950 M), astronomi dan matemaika pada zaman al-H}akam II (961-976 M) dan selepasnya. Dalam bidang sejarah ada Ahmad al-Ra>zi (w. 953 M). Karya beliau banyak berdasarkan dokumen-dokumen Spanyol berjudul Cronica del Moro Rusis. Ahli sejarah yang lain juga ialah seorang penduduk Spanyol, bernama Arib (w. 980 M), beliau telah menyambung kitab Ta>ri>kh al-T}abari, dari tahun 904-932 M. Pada waktu ini lahir sebuah biografi ulama Cordova dan Bandar-bandar lain di Spanyol. Sebuah lagi buku biografi para kadi di Cordova berjudul History of the Judges of Cordova buku terjemahan dari al-Khuzhani (w. 971 M atau 981 M). Aktifitas intelektual pada zaman Bani Umayyah masih merupakan sebagian kecil daripada aktifitas intelektual Islam Spanyol pada umumnya .
    2) Bidang Kesusastraan
    Bani Umayyah Spanyol banyak melahirkan para ahli sastra dan penyair. Mereka telah Berjaya melahirkan banyak karya-karya syair dan sajak, yang telah diilhami oleh penyai-penyair kawasan timur, diantaranya adalah; Abu Nuwwa>s (w. 803 M) Abu ‘Ata>hiyah (w. 826 M) al-Mutanabbi (w. 965 M) dan lain sebagainya. Mereka inilah yang membawa idea-idea ini dibawa ke Spanyol dan setelah itu diubah sesuai mengikuti keadaan dan suasana Spanyol. Diantara para penyair Spanyol yang ternama adalah Ibn Abd al-Rabbih (680-940 M) dengan karyanya berjudul al-Iqd al-Fari>d (rantai yang tiada taranya) yang mengandung 25 bab dari berbagai tajuk sastra dan juga mengandung maklumat sejarah. Dan penyair kelas dua adalah Ibnu Hani al-Andalu>si . Pada hakikatnya syair telah berkembang sejak zaman Abd al-Rahma>n al-Dakhil, dan beliau adalah seorang penyair yang menghasilkan beberapa bait syair yang menyentuh kerinduan beliau terhadap negeri asalnya, Syam (Damascus-Syria). Beliau bertanggungjawab terhadap perkembangan kesusasteraan di Spanyol .
    3) Bidang Kesenian
    Dalam bidang kesenian kerajaan Bani Umayyah bisa dianggap sebagai zaman permualaan perkembangan kesenian Islam di Spanyol. Sejak pembukaan di Spanyol hingga tahun 976 M boleh dianggap sebagai tahap pembinaan tamaddun Islam di Spanyol. Dalam tempoh tersebut telah berdiri masjid besar di Cordova. Masjid ini mulai dibangun oleh Abd al-Rahman al-Dakhil, setelah itu diperluas dan diperindah oleh Abd al-Rahma>n II, al-H{akam II dan al-Mans}ur .
    4) Bidang Pendidikan
    Bidang ini sangat digalakan pada zaman Bani Umayyah. Pertama; dimulai dengan didirikannya masjid-masjid sebagai tempat ibadah dan tempat menimba ilmu pengetahuan.Kedua; mengundang para ilmuan dari dalam Spanyol atau dari luar, Arab maupun non Arab. Adapun penyebaran ilmu pengetahuan berlaku setelah masa Abd al-Rahman al-Dakhi>l . Sistim pendidikan di zaman Bani Umayyah dibagi menjadi tiga tahap: rendah, menengah dan tinggi. Pada peringkat rendah (Ibtidai>yyah dan I’da>diyyah = SD dan SMP) pelajar-pelajar diajarkan membaca al-Qur’an dan tatabahasa Arab, mereka biasanya ditempatkan di masjid-masjid. Guru-guru tidak diberikan gaji, hanya sekedar menerima elaun yang dibayar oleh murid-murid secara sukarela. Peringkat menengah (Tsa>nawiyyah=SMA), sedangkan mata pelajarannya adalah tatabahasa Arab (nahwu), sastra, sejarah, hadith, fikih, ilmu kesihatan praktikal, matematik, astronomi, akhlak, metafizik dan khat. Pelajar yang lulus diberikan diploma atau ijazah (menyamai licence di Prancis atau B.A di Britain). Peringkat tinggi atau universtas mula diwujudkan pada zaman al-H{akam II (961-976 M). Institusi pengajian (perguruan) tinggi ini diwujudkan secara informal yang dikendalikan oleh sekumpulan professor. Ia hanya mengendalikan kursus-kursus pada peringkat lepas ijazah dan berpusat di Cordova dan Toledo. Kedua tempat ini merupakan pusat pendidikan utama bagi siswa-siswa di barat Eropah pada ketika itu. Kemudahan-kemudahan pendidikan seperti buku, alat-alat tulis dan lain-lain telah disediakan dan mudah diperoleh di Cordova .
    2. Peradaban dan Tradisi Intelektual Pasca Bani Umayyah
    a. Kesusastraan dan Filologi
    Kerajaan Bani Umayyah di Spanyol sangat menitikberatkan pada mata pelajaran sastra dan filologi (ilmu kajian bahasa), begitu juga pemerintahan sesudahnya. Banyak sekali para ahli bahasa yang muncul di Spanyol pasca pemerintahan Bani Umayyah. Diantaranya adalah; Ibnu Sida (w. 1066 M), beliau telah menghasilkan dua buah kamus bahasa yang sangat besar. Dalam bidang sastra muncul beberapa tokoh sastrawan yang terkenal. Diantanya adalah Abu Bakar al-Turtu>syi, dikenal pula dengan nama Ibn Abi> Randazah yang telah mengarang sebuah ensiklopedia sastra, berjudul Sirat al-Mulu>k (kitab yang mengandung cerita-cerita yang berkaitan dengan kehidupan istana). Dan tokoh yang kedua adalah, Yusuf bin al-Shaikh dari Malaga. Ia juga menghasilkan ensiklopedia sastra, akan tetapi lebih umum. Ada juga ahli sastra dan antologi Andalus, ialah Abu> al-Wali>d al-Himya>ri dan Ibn al-Bassa>m (w. 1147 M). al-Bassa>m terkenal dengan kitabnya yang berjudul Zakhi>rah fi Maha>sin Ahl al-Jazirah. Kitab ini mengandung tujuh jilid, isinya berkaitan dengan sejarah kesusastraan Arab di Spanyol. Kemudian lagi adalah al-Syaqundi (w. 1231 M) dari keturunan Barbar dengan kitab satranya yang berjudul Risalah, Ibn Zaidun yang menghasilkan dua buah prosa. Diantara penulis-penulis atau sastrawan-sastrawan Andalus yang menulis maqamat ialah Abu al-Abbas al-Syarisy dari jerez (w. 1222 M), beliau telah membuat komentar terhadap maqamat al-Hariri dan Abu Tahir Tamimi al-Sarqusti al-Asytarkuni (w. 1143 M) dari Estercuel. Beliau telah menghasilkan 50 maqa>mat dan kebanyakan mencontoh Luzu>miyyat oleh Abu al-‘Ala al-Ma’arri. Kemudian cerita-cerita dongeng, ada dua buah kitab cerita dongeng yang terkenal, pertama, berjudul Risa>lah al-Tawa>bi’ wa al-Zawabi’ oleh Abu Amir Ibn Syuhayd. Kedua berjudul Hayy Ibn Yaqzan oleh Ibn Tufayl (w. 1185 M), merupakan sebuah novel filsafat yang paling terkemuka pada abad pertengahan. Seorang penyair Andalus terkenal adalah Ibn Hazm juga ahli teologi menghasilkan sebuah ontology berjudul Tuq al-Hama>mah yang mengandung kisah-kisah cinta. Kemudian diakhir masa pemerintahan Islam di Spanyol perkembangan kesusastraan hanya tertumpu pada penyusunan dan penyuntingan, bukan lagi merupakan karya-karya asli seperti sebelumnya. Keadaan yang sama juga terjadi dikawasan timur yaitu Baghdad . Diantara para tokoh yang muncul pada zaman ini di Spanyol adalah Muhammad bin Abdullah dikenal dengan Ibn Malik (w. 1274 M) telah menghasilkan tujuh buah buku tentang bahasa dan sastra, diantaranya adalah Tashi>l al-Fawa>id wa Takmi>l al-Maqa>sid dan lain-lain. Abu Hayya>n (w. 1344 M) yang terkenal sebagai ahli tata bahasa Arab, Turki dan Habsyah. Ibn Sa’id al-Maghribi (w. 1276 M), terkenal sebagai penyair, ahli sejarah dan sastrawan melalui buku-bukunya berjudul ‘Unwan al-Murqisa>t wa al-Mutribu>t; al-Ghusu>n al-Yani>’ah fi Mahasi>n al-Syu’ara; Ra>yat al-Mubazzirin wa Ghayat al-Mumayyizin . Tokoh lain yang terkenal adalah Lisa>n al-Di>n Ibn Khati>b (w. 1375 M), seorang ahli sejarah dan sastrawan. Lahir di Loja, kira-kira 50 Km dari Bandar Granada, beliau memiliki murid yang juga seorang sastrawan terkenal di Granada, Ibn Zamrah (w. 1393 M), syair-syair beliau ditampal pada dinding-dinding istana al-Hamra .
    b. Ilmu-ilmu Agama
    Ilmu-ilmu agama juga berkembang di Spanyol pasca pemerintahan Bani Umayyah. Tradisi keilmuan ini adalah tradisi estafet intelektual yang telah dibangun oleh dinasti Bani Umayyyah, terutama pada masa Abd Rahman III dan anaknya Hakam II , kemudian diteruskan oleh dinasti-dinasti setelahnya. Banyak tokoh agama muncul pada abad 11 dan 12, diantaranya adalah: Ibnu Hazm dengan karya-karyanya dalam bidang agama, yaitu; al-Ihka>m li Ushul al-Ahka>m, Risal>ah fi Ushul al-Fiqh, al-Fasl fi al-Milal wa al-Nihal dan al-Muhalla>. Ibn Abd al-Barr (978-1070), beliau seorang ulama hadith yang paling terkenal di Spanyol dan Afrika Utara. Karya beliau yang paling agung adalah; al-Isti’a>b li al-S}aha>bah, dan lain-lain. Pada mulanya beliau menganut madhab Zahiri, kemudian berpindah ke madhab Maliki dan pernah dilantik sebagai Qadi di Lisabon-Portugal . Al-Humaidi (w. 1095 M) adalah murid dari Ibn H{azm da Ibn Abd al-Barr dan mahir dalam bidang hadith. Beliau banyak terpengaruh dengan madhab Z{ahiri .
    Pada abad 12 telah banyak tokoh-tokoh agama yang muncul pada jaman pemerintahan al-Murabitun dan al-Mawahhidun, diantaranya adalah; Qa>di> ‘Iya>d, seorang ulama yang terkenal pada jaman al-Murabitun yang berasal dari Ceuta. Beliau kemudian pergi ke Kordova setelah dilantik menjadi Qadi Ceuta. Terkenal dalam bidang hadith, fiqh dan sejarah. Beliau telah menulis buku sebanyak 20 judul buku, dintaranya adalah; al-Syifa> bi Ta’ri>f al-Huqu>q al-Must}afa. Seorang tokoh madhab Maliki.
    Setelah kemunculan kerajaan al-Muwahhidun pengaruh ulama Maliki menjadi pudar, karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah al-Muwahhidun yang lebih memihak pada mazdhab Zahiri. Diantara sarjana muslim yang mendukung kerajaan al-Muwahhidun adalah; Ibn Rushd (1126-1198) . keradaan beliau telah melahirkan suatu corak baru dalam sejarah pemikiran umat Islam di Spanyol. Ia bukan saja mahir dalam bidang agama, tapi ia juga seorang ahli filsafat, astronomi, biologi dan fisika. Beliau juga pernah menjadi Qadi di Seville dan di Cordova . Dalam bidang fiqh karya beliau yang terkenal adalah; Bida>yat al-Mujtahid wi Niha>yat al-Muqtasid . Imam Asy-Syathibi pengarang kitab Al-Muwa>faqat, sebuah kitab tentang Ushul Fiqh yang sangat berpengaruh . Dan banyak tokoh-tokoh agama lainnya.
    c. Sejarah
    Ilmu sejarah dan sosiologi juga berkembang pesat di Andalusia semasa pemerintahan Islam. Ahli sejarah dan sosiologi yang menjadi peletak dasar teori-teori sejarah dan sosiologi banyak bermunculan pada masa ini. Mereka antara lain;
    Ibnu Hazm dengan karyanya Jamharah al-Ahsa>b dan Rasa>il fi Fadl Ahl al- Andalus. Ibnu Bat}ut}ah (1304 – 1374) seorang sejarawan yang pernah berkunjung ke Indonesia dan Asia Tenggara. Ibnu Jubair dari Valencia (1145 – 1228 M) seorang ahli sejarah dan geografi yang menulis sejarah negeri-negeri muslim Mediterania dan Cicilia. Ibnu Khaldun dari Tunis, seorang ahli filsafat sejarah yang terkenal dengan bukunya Muqaddimah. Abu Marwan Hayya>n ibn Khalaf (nama pendeknya adalah; Ibnu Hayya>n 987-1076) ia telah mengarang lebih dari lima puluh judul buku, diantaranya adalah al-Mati>n terdiri dari 60 jilid, namun hanya satu karyanya yang terselamatkan, yaitu; al-Muqtabis fi> Ta>ri>kh Rija>l al-Andalus. Abd al-Wahi>d al-Marrakusyi, dengan karyanya; al-Muji>b fi> Talkhi>s} Akhba>r al-Maghrib, yang ditulis pada dinasti al-Muwahhidu>n pada tahun 1224, ia adalah orang Maroko yang tinggal sementara di Spanyol. Ibn Busykuwal, Abu> al-Qa>sim Khalaf ibn Abd al-Ma>lik, karyanya adalah al-S}ilah fi> Ta>ri>kh ‘Aimmat al-Andalus , yang ditulis pada tahun 1139, ini adalah salah satu dari dua karya sejarah yang terselamatkan. Abu> Abdulla>h Muhammad ibn al-Abba>r (1199-1260) dari Valensia, selain menyusun kitab Takmilah li Kita>b al-S}illah, beliau juga menulis kitab al-Hullah al-Siyara>, adalah kiab yang menghimpun biografi sejumlah tokoh . Abu> Dhabbi, Abu> Ja’far Ahmad ibn Yahya> (w. 1203), yang hidup di Murcia, dengan karyanya; al-Multamis fi> Ta>ri>kh Rija>l al-Andalus, berisi tentang orang-orang Spanyol yang terpelajar. Abu al-Qa>sim Sa’id Ahmad al-Andalusi (1029-1070). Karyanya berjudul T}abaqa>t al-Umam.
    Diantara kesepuluh tokoh sejarawan muslim Spayol pasca Bani Umayyah yang penulis sebutkan diatas, masih banyak lagi, diantaranya adalah; Ali ibn Musa ibn Sa’id al-Maghri>bi, ia hidup pada jaman pemerintahan di Granada, dengan karyanya; al-Maghrib fi> Hula al-Maghrib dan al-Masyriq fi> Hula al-Masyriq. Kemudian adalah Lisa>n al-Di>n al-Khat}i>b (1313-13740 . adalah seorang wazir yang hidup di Granada, ahli sastra dan sejarah. Karya sejarahnya adalah; Raqam al-Hulal fi> Naz}am al-Duwal, al-Ihat}ah fi> Ta>ri>kh al-Gharna>t}ah dan Lamhat al-Badriyyah fi> al-Dawlah al-Nasri>yyah .
    d. Filsafat dan Tasawwuf
    Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M). Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
    Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu; Ibn Rushd dari Cordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bida>yah al- Mujtahid , sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
    Diantara para filosof-filosof Arab Spanyol adalah Solomon ben Gaberol (Avicebron, Avencebrol), seorang Yahudi, lahir di Malaga sekitar tahun 1021 dan meninggal di Valencia sekitara 1058.
    Dan abad ke-12 adalah abad terbesar dalam sejarah pemikiran filsafat muslim-Spanyol. Abad ini di buka oleh ; Abu> Bakr Muhammad ibn Yahya> ibn Bajjah (Avenpace, Avempace), seorang filosof, ilmuan, dokter, musisi, komentator pemikiran Aristoteles, yang tumbuh di Granada dan Saragosa, meninggal di Fez pada tahun 1138. Dan kemudian Ibnu Thufail (1107-1185), dilahirkan di Asya, Granada, bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn Abdul Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-Qisi, ia pernah menjabat Menteri Urusan Politik di pemerintahan, dan juga pernah menjabat Gubernur untuk Wilayah Sabtah (Ceuta) danTanger di daratan Morocco. Sebagai ahli falsafah, Ibnu Thufail (Abubacer: sebutan Eropanya) adalah guru dari Ibnu Rusyd (Averroes), ia mengusai ilmu lainnya seperti ilmu hukum, pendidikan, dan kedokteran, sehingga Ibn Thufail pernah menjadi dokter pribadi Abu Ya'kub Yusuf seorang Pangeran Muwahhidin. Ibnu Thufail di kenal pula sebagai penulis Roman Filasafat dalam literatur abad pertengahan dengan nama Kitabnya "Hayy ibn Yaqz{an", salah satu buku warisan dari ahli filsafat Islam tempo dulu yang sampai kepada kita, sedangkan sebagian karyanya hilang .
    Dalam bidang tasawwuf, ulama-ulama yang terkenal adalah; Abu> Bakr Muhammad ibn ‘Ali Muhyi al-Di>n ibn ‘Arabi>, sufi spekulatif dalam sejarah tasawuf. Ia lahir di Murcia (Mursiyah) pada 1165 dan menghabiskan sebagian hidupnya di Seville sampai 1201-1202. Ketika ia melakukan ibadah haji, dan kemudian tinggal di Timur sampai kematiaanya di Damaskus pada 1240 . Karyanya sungguh luar biasa, konon Ibnu Arabi menulis lebih dari 500 buah buku, sekarang di perpustakaan Kerajaan Mesir di Kairo saja masih tersimpan 150 karya Ibnu Arabi yang masih ada dan utuh. Diantara karya-karyanya adalah Tafsir Al-Qur'an yang terdiri 29 jilid, Muha>darat al-Abra>r Satu jilid, Futu>hat terdiri 20 jilid, Muhadarat 5 jilid, Mawa>qi'in Nujum, at-Tadbiratul Ila>hiyyah, Risa>lah al-khalwah, Mahiyyatul Qalb, Mishka>t al-Anwar, al Futuhat al Makiyyah yaitu suatu sistim tasawwuf yang terdiri dari 560 bab dan masih banyak lagi karangan-karangan hasil pemikiran Ibnu Arabi yang mempengaruhi para sarjana dan pemikir baik di Barat maupun Timur setelah kepergiaanya. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Ibnu Rusyd. Ia sering berkelana untuk thalabul 'ilmi (mencari ilmu) dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya seperti ke Cordova, Mesir, Tunisia, Fez, Maroko, Jerussalem, Makkah, Hejaz, Allepo, Asia kecil, dan Damaskus . Abu> Muhammad ‘Abd Haqq ibn Sabi’i>n (1217-1260), ia orang Murcia, menganut dan mengembangkan pemikiran dan karya yang serupa dengan Ibn ‘Arabi>, ia di juluki Quthb al-Di>n (poros agama). Ia memiliki karya; al-Ajwibah an al-As’ilah al-Siqiliyyah (jawaban atas pertanyaan orang Sisilia) dan Asra>r al-Hikmah al-Masyri>qiyyah (Hikmah Filsafat Iluminasi).
    e. Sains
    IImu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
    f. Geografi
    Al-Idrisi: lahir di Sebta (Ceuta) pada tahun 1100 M salah seorang ahli Geografi dengan nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad al-Idrisi, yang menulis Kitab Ar-Rujari atau dikenal dengan Buku Roger salah satu buku yang menjelaskan tentang peta dunia terlengkap, akurat, serta menerangkan pembagian-pembagian zona iklim di dunia. Ar-Rujari sebuah karya yang diperbantukan untuk Raja Roger II, dimana buku ini sempat dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa baik Muslim maupun non Muslim. Al-Idrisi adalah seorang yang tekun, pekerja keras dan tanpa lelah untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, ia menggali ilmu Geografi dan ilmu Botani di Cordoba Spanyol. Diantara ahli botani adalah Ibn Baitar (1190-1248): Abu Muhammad ibn Baitar, lahir di Malaga. Ahli Botani Islam terkenal, dialah yang petama kali menggabungkan ilmu-ilmu botani Islam, dimana karyanya dijadikan sebagai standar referensi hingga abad ke-16 .
    g. Kedokteran
    Ilmu kedokteran berkembang sangat pesat di Cordoba. Pada masa kejayaannya, terdapat 50 rumah sakit umum di era Dinasti Umayyah Spanyol. Salah satu dokter termasyhur dari Andalusia adalah Abu al-Qasim al-Zahrawi alias Abulcasis. Para dokter Muslim dari Spanyol Islam sangat berjasa besar dalam mengembangkan ilmu kedokteran, khususnya anatomi dan fisiologi. Ilmu bedah juga berkembang di masa Umayyah Andalusia. Adalah Al- Zahra>wi lewat kitab Al-Tasrif yang mengembangkan ilmu bedah. Itulah sebabnya, dia dijuluki Bapak Bedah Modern. Tak cuma soal teknik dan metode bedah kedokteran yang dikembangkan, ia juga berhasil membuat alat bedah sendiri. Saat itu, dokter dan ahli bedah Muslim menggunakan alkohol sebagai antiseptik untuk menyembuhkan luka. Dokter bedah dari Andalusia lainnya yang terkenal adalah Ibnu Zuhr alias Avenzoar .
    h. Astronomi
    Astronomi mencapai puncak kejayaan di era Kekhalifahan Umayyah Spanyol, pada abad ke-11 dan 12 M. Ibnu Haitham menjadi salah seorang astronom asal Andalusia yang pertama kali mengubah konfigurasi Ptolemeus. Pada akhir abad ke-11 M, astronom Andalusia bernama Al-Zarqali alias Arzachel menemukan bahwa orbit planet itu adalah edaran eliptik bukan edaran sirkular. Ibnu Rushd turut menentang paham astronomi yang dikembangkan Ptolemeus. Penemuan astronomi yang penting lainnya dicetuskan Ibnu Bajjah. Ia juga mengusulkan adanya Galaksi Bima Sakti. Setelah itu, ada pula Nur Ed-Din Al Betrugi alias Alpetragius yang mengusulkan modelmodel planet baru .
    i. Ilmu Bumi
    Penemuan optik yang dicapai Abu Abdullah Muhammad Ibnu Mafudh pada abad ke-11 M menjadi salah satu bukti perkembangan ilmu bumi di era Dinasti Umayyah Spanyol. Karya Ibnu Mafudh begitu terkenal hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber de crepisculis. Pada awal abad ke-13 M, ahli biologi Andalusia, Abu al- Abbas al-Nabati mulai mengembangkan metode ilmiah untuk botani. Muridnya bernama Ibnu al-Baitar kemudian mengembangkan ilmu botani lebih luas. Ia berhasil menulis kitab al- Ja>mi fi al-Adwiya> al-Mufrada yang diyakini sebagai salah satu kompilasi botani terbesar dalam sejarah. Ensi klo pedia botani itu memuat 1.400 jenis ta naman berbeda. Sebanyak 300 di an ta ranya, yakni temuannya sendiri. Buah pikirannya itu sangat berpengaruh di Eropa .

    BAB IV
    PENUTUP

    Delapan abad lamanya Islam berkuasa di Andalusia sejak tahun 711 M hingga berakhirnya kekuasaan Islam di Granada pada tanggal 2 Januari 1492 M/ 2 Rabiul Awwal 898 H tepatnya 516 tahun lalu, Andalusia dalam masa kejayaan Islam telah melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim yang tertulis dengan tinta emas di sepanjang jaman. Karya mereka yang masih ada banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa di penjuru dunia. Sehingga universitas-universitas dibangun di negeri ini ditengah ancaman musuh-musuhnya. Itulah keunikan para ulama, cendekiawan-cendekiawan tempo dulu bukan saja menguasai satu bidang ilmu pengetahuan namun mereka menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang disegani dan tanpa pamrih, hingga nama mereka dikenang oleh setiap insan. Kini bukti kemajuan akan peradaban Islam tempo dulu di Spanyol dapat kita lihat sisa-sisa bangunan yang penuh sejarah dari Toledo hingga Granada, dari Istana Cordova hingga Alhambra. Dan disinilah berkat kekuasaan Tuhan walaupun kekuasaan Islam di Spanyol telah jatuh kepada umat Kristen beberapa abad silam yang menjadikan Katolik sebagai agama resmi, namun karya-karya anak negeri ini mampu memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi umat manusia hingga di abad milenium yang super canggih. Wassalam.








    DAFTARA PUSTAKA

    Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Grafindo Persada, cet ke-16, 2004)
    Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10 centuries), Routledge, London-New York, 1998.
    Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siya>si wa al-Di>ni> wa al-Tsaqa>fi wa al-Ijtima>’i, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al- Masriyyah, Tanpa Tahun).
    Ibn Khaldun, Muqaddimah.
    lfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” dalam The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948.
    Budi Suherdiman Januardi, MM. “Jejak Kegemilangan Umat Islam Dalam Pentas Sejarah Dunia”, dalam http;//www. Dudung. Net/artikel (6 April 2009)
    Lutfi Abd al-Badi’, al-Isla>m fi Asba>niya (Kairo: Maktabah al-Nahdah al- Masriyyah, 1969)
    Mahyudi Hj. Yahya dan Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam, (Malaysia, Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD, 1993)
    Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986)
    Med Hata, “Abad Kejayaan Islam di Spanyol”, dalam http;//multiply. com/user/join?/connect=bukukuningcenter (26 Oktober 2008)
    Oliver Leaman, "Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History", dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in association withTheInstitute of Ismaili Studies, 2000.
    Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985.
    Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the earliest Times to the Present, (terj) R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008)
    Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present ( Palgrave Macmillan, New York, 2002)
    Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, jilid. II, Low Price Publication, Delhi, 1995, hal.1349. 9)
    Sejarah Peradaban Islam dalam http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-di-andalusia.html (02 Maret 2003) l
    http;//multiply. com/user/join?/connect=bukukuningcenter (26 Oktober 2008)
    http://www.islamic-center.or.id/oase/46-oase-jic/627-kemilau-sains-islam-di-spanyol
    http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-156.html (2 September 2007)