Oleh : Abu Zacky Muhyidin Dawoed
: Abstractبعد أن ظهرت الحركة التي تسمى بتحرير المرأة ، و أصبحت المرأة مثقفة ، تغيرت الأنظار و الأفهام فيما يتعلق بوضعها وسط المجتمع لا سيما فيما يتعلق بتقريرات العلماء القدماء ، و المرأة ترى نقسها أنها قد تغيرت و أصبحت مثل الرجل تماما في جميع المجالات ، كأنها تقول : إن ما للرجال و للنساء أيضا و و إن ما عليهم و عليهن أيضا . و انطلاقا من هذا المبداء بدأت الأصوات ترفع إلى ساحة المجتمع إلى ضرورة تجديد النظر في تفسير النصوص المتعلقة بالجنسين المختلفين ، و منها إعادة النظر في قضية إمامة أو رئاسة المرأة في الدولة في الميزان الشرعي . و أنا أرى أن إختلاف العلماء أو الباحثين في الموضوع يقسم على الأرآء الثلاثة ، و هي الأول لا يجوز مطلقا ، نظرا إلى صريح الحديث الصحيح ، و الثاني يجوز مطلقا – نظرا إلى عدم النص القطعي المتواتر و قياسا برئاسة بلقيس ، و الثالث لا ينظر من ناحية الذكورة أو الأنوثة ، و لكنه ينظر إلى الكفاءة ، إذا ، العبرة هنا من هو أكفأ الإنسان في البلاد و ليست قضية الذكورة و الأنوثة ، و هذا الرأي يعتبر – عند صاحبه – جامعا بين النصوص و الوقائع التاريخية . و عملنا في هذا البحث أن نحقق تلك الأراء ، و نعادلها في الميزان لكي نثبت اصح الأرآء و أنسبها في المجتمع الإسلامي الذي نعيش فيه – لأنه قد تختلف النتيجة بحسب اختلاف المجتمع نفسه – لأن الحكم يختلف باختلاف العلة . و نحن نرى الكتاب أو الباحثين في هذا الموضوع قد يغفلون النظرة الشمولية من جميع النواحي سواء كانت الناحية شخصية أو إجتماعية أو كفائية أو مصلحية التي لا يمكننا أن نغفلها .
: Keywordsتحرير المرأة ، رئاسة المرأة ، أكفأ الإنسان ، النص القطعي المتواتر ، النظرة الشمولية .
A. PENDAHULUAN
Ketika wanita mulai banyak yang terdidik, apalagi mereka yang telah banyak terpengaruh pemikiran liberal atau Barat, dan munculnya istilah “emansipasi wanita”, maka munculah pemikiran-pemikiran yang dianggap diskriminatif terhadap jender, diantara pemikiran yang dikritisi adalah tentang tafsir ulang terhadap pandangan tentang kepemimpinan negara atau kepemimpinan tertinggi dalam sebuah negara, yang mayoritas ulama klasik mengatakan bahwa wanita tidak diperkenan meamngku jabatan itu, karena ada hadith yang secara eksplisit melarangnya dan juga karena perbedaan karakter dasar yang ada pada kedua jenis antara pria dan wanita. Mereka yang menganggap pelarangan tersebut adalah diskriminatif karena didasarkan asumsi mereka bahwa pelarangan tersebut hanya melihat perspektif jender, ada pula yang melihat dari perspektif teks hadith yang dianggap merupakan kejadian khusus dengan analogi diakuinya Ratu Bilqis oleh al-Qur’an sendiri.
B. Kepemimpinan wanita
Mengenai persoalan kepemimpinan wanita, mereka tidak akan terlepas pada hadith diatas. Dalam memahami hadi>th tersebut para pakar hukum Islam dari masa ke masa sepakat bahwa kepemimpinan negara Islam adalah khusus untuk lelaki . Dan hadi>th tersebut adalah hadith khusus tentang kepemimpin tertinggi Negara bukan jabatan lainnya. Hal ini juga dikatakan oleh Dr. Must}afa> al-Siba>’i> bahwa kata al-wilayah (kekuasaan/mandate) yang termaktub dalam hadith tersebut tak lain adalah al-wila>yah al-‘ulya> (kekuasaan tinggi/kepemimpinan tertinggi); dan hadith tersebut terjadi ketika Nabi saw diberi tahu bahwa Persia telah terjadi peralihan kekuasaan kepada salah satu dari beberapa putri Kisra. Adapun al-wilayah secara umum tidak ada larangan berdasarkan ijma’, dengan dibuktikan adanya kesepakatan para pakar yuridis Islam (fuqaha>’) tentang keabsahan wanita atas mandate bagi anak kecil dan orang yang dianggap kurang memenuhi syarat untuk bertransaksi (na>qis} al-ahliyyah), menjadi wakil dari sekelompok masyarakat, menjadi saksi. Kesaksian adalah bentuk al-wila>yah (tugas dan tanggung jawab) sebagaimana yang telah ditulis oleh fuqaha>’.
Begitu pula Abu> Hani>fah memperkenankan wanita memegang jabatan qa>d}i> dalam situasi tertentu. Dan teks hadith yang kami pahami adalah kejelasan tentang terlarangnya wanita memegang jabatan tinggi (presiden) dan jabatan lain yang masuk dalam katagori jabatan yang berbahaya (khut}u>rah al-mas’u>liyyah) , adapun jabatan lain tidak ada persoalan, karena memang punya hak akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan kaidah-kaidahnya.
Hibbah Rauf Izzat mencoba untuk meneliti hadith ini dari berbagai segi yang pada akhirnya sebenarnya dia tidak setuju dengan pendapat mayoritas pakar yurisprudensi Islam . Ia berusaha mengkritisi rumusan dasar dasar fiqh tentang larangan wanita dalam memegang jabatan tetinggi dalam sebuah Negara. Ia menulis ada tiga kelompok yang memberikan penafsiran berbada mengenai hadith tersebut, yaitu :
Pertama; kelompok yang menganggap bahwa hadith tersebut mencakup seluruh wanita.
Kedua; kelompok yang menganggap bahwa hadith tersebut berkaitan dengan kekuasaan kekhalifahan dan tidak menyangkut kekuasaan lainnya.
Ketiga; kelompok ulama modern sekarang (meminjam istilah Izzat), memungkiri kesahihan hadith. Hadith ini dianggap maudu’ (dibuat-buat), kalaupun dianggap s}ahi>h, seasungguhnya hadith tersebut adalah hadith aha>d yang mengandung keraguan. Oleh karena itu hadith tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil dalam perkara konstitusional.
Ketiga pendapat dikomentari oleh izzat sendiri, bahwa pendapat pertama dianggap tidak mengakurkan atau memadukan dengan ayat-ayat al-Qur’an lainya dan hadith-hadith Nabi saw. Begitupula pendapat kedua. Sedangkan pada kelompok ketiga yang meremehkan pengamalan hadith ahad. Penulis menganggap bahwa Izzat begitu agak mendukungnya, ia seolah-olah mengatakan bahwa walaupun meremehkan hadith ahad, akan tetapi ada usaha untuk membentuk pandangan Islam yang benar. Izzat sendiri telah menganggap bahwa sebab adanya hadith tersebut adalah tentang sejarah Persia dan hanya menyangkut masalah berita, kabar gembira, dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah hukum shari>ah serta hadith tersebut bersifat khusus walaupun ada kaidah us}ul al-fiqh yang mengatakan pelajaran itu harus diambil dari keumuman lafaz}nya dan bukan kekhususan sebabnya (al-‘Ibrah bi Umu>m al-Lafz la bi Khus}u>s al-Sabab). Karena ada qari>nah (konteks) yang menunjukan kekhususan makna hadith yaitu ayat al-Qur’a>n al-Kari>m yang mengisahkan tentang Bilqis, Ratu Saba’yang membawa kejayaan negerinya.
Pendapat Izzat ini sebenarnya telah banyak dikutip oleh banyak ulama pada masa sekarang diantaranya adalah Muhammmad al-Ghaza>li> sebagaimana yang terlihat dalam referensinya, hanya saja Izzat tidak lebih moderat dan obyektif dari Muhammad al-Ghaza>li>. Menurut penulis Muhammad al-Ghaza>li> masih memandang secara proporsional tentang kesahihan hadith, hanya saja beliau ingin tahu tentang makna yang terdalam hadith tersebut, dan mencoba untuk menolak pertentangan antara al-Qur’an dan al-‘A
Izzat mengesampingkan pendapat kedua, yang merupakan rumusan paling proporsional menurut penulis, dengan mempertimbangkan banyak pertimbangan dan teori. Walaupun kelompok kedua tidak secara eksplisit menyebutkan alasan-alasan yang rasional dan teori pembangunan hukumnya, namun penulis bisa memaklumi. Penulis akan menelusuri alasan teori dan rumusan rasional bagi kelompok kedua. Dan saya tidak setuju dengan pendapat pertama karena memang banyak betabrakan dengan banyak dalil yang memperbolehkan wanita melakukan kegiatan termasuk kegiatan politik.
Seperti apa yang telah saya tulis bahwa Muhammad al-Ghaza>li>, berusaha untuk menelusuri pemaknaan hadi>th ini secara benar, dengan menyatakan argument-argumen yang bisa mematahkan pendapat kedua (yang melarang wanita memegang jabatan tertinggi dalam sebuah Negara) sesuai pendapat kedua. Beliau mengatakan :
“Inggris bisa telah mencapai masa ke-Emasan ketika dipimpin oleh Ratu Victoria, dia telah membawa Inggris pada puncak kejayaan ekonomi dan kestabilan politik, jadi dimana letak keharaman dan keterlarangan, bagi mereka yang memilih para wanita sebagai pemimpin?, dan saya telah membicarakan hal ini, pada tempat yang lain mengenai atas pukulan-pukulan yang mematikan terhadap kaum muslimin yang dilakukan oleh Indira Gandhi dimana ia mampu memecah Negara Islam menjadi dua bagian , sedangkan Marsekal Yahya Khan (Presiden Pakistan) menuai kekalahan….begitu juga musibah-musibah yang telah menimpa dunia Arab ketika Negara Yahudi Israel dipimpin oleh Golda Meir, merupakan sejarah yang terkadang bisa dihapus dengan generasi yang lain!, cerita heroic ini bukan persoalan lelaki atau wanita, akan tetapi persoalan mental (akhla>q) dan kemampuan……Indira Gandhi kemudian mengadakan pemilihan umum, coba lihatlah! Apakah bangsanya akan memilihnya kembali atau tidak?, ternyata kemudian rakyat memilihnya kembali dengan demokrasi, sementara umat Islam sibuk dengan mengebiri dan memalsukan hasil pemilihan umum, seolah mereka adalah para spesialis pemalsuan demi kemenangan memperoleh kekuasaan sekalipun hal ini sudah diketahui public….jadi bangsa mana yang lebih utama (antara kaum muslimin yang suka berbuat curang dalam pemilihan umum atau bukan Negara Islam yang jujur) untuk dijaga oleh Allah swt dan menjadi Khalifah dibumi-Nya? dan kenapa kita tidak mengingat ucapan Ibnu Taymiyah : “Allah swt akan memenangkan Negara Kafir – karena keadilannya - atas Negara Islam yang banyak terjadi kelaliman!, jadi apa urusan Gender disini, wanita yang memiliki agama yang bagus lebih baik dari yang berjenggot (lelaki) tapi kufur.”
Musdah Mulia dan Anik Farida mencoba untuk menolak pendapat mayoritas ulama yang tidak memperbolehkan wanita memegang jabatan tertinggi, karena memang pendapat ini yang disepakati, adapaun jabatan lainya para pakar pakar yuridis membolehkannya. Musdah membagi aliran pemikiran dalam hal ini menjadi dua, yaitu ;
Pertama; aliran yang mengklaim bahwa Islam tidak mngakui hak perempuan menjadi pemimpin, baik dalam ranah domestik, terlebih lagi dalam ranah publik.
Kedua; aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui hak-hak perempuan sama seperti yang diberikan kepada laki-laki. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam mengakui kepemimpinan perempuan termasuk menjadi kepala Negara.
Pembagian aliran yang Musdah ungkapkan, penulis tidak setuju, karena pada dasarnya, sebelum adanya pendapat diperbolehkannya wanita menjadi kepala Negara, yang merupakan pendapat pasca munculnya slogan emansipasi wanita, telah ada dua pendapat yang terpisah, yaitu pertama; pendapat yang melarang wanita melakukan aktifitas apapun diluar rumah dan kedua; adalah pendapat yang memperbolehkannya, seperti menjadi qa>d}I atau hakim sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan al-T{abari>, namun pendapat kedua ini mengecualikan menjadi pemimpin Negara. Dalam hal ini Izzat lebih tepat membagi aliran pertentangan ini menjadi tiga kelompok. Dan pada Intinya Musdah dan Farida lebih cenderung mengikuti pendapat kedua (versi Musdah) dengan argumentasi-argumentasi yang penulis anggap kurang berbobot secara teologis (fiqh dan us}ul al-fiqh) bahkan terkadang meminjam pendapat kedua (versi Izzat) untuk menolak pendapat pertama. Musdah banyak mengambil pendapat jumhur untuk mematahkan jumhur itu sendiri, karena Musdah sangat agresif untuk memaksakan asumsinya bahwa wanita tetap boleh secara teologis menjadi kepala Negara. Pendapat dan argument Musdah dalam hal diperkenankannya wanita sebagai kepala pemerintahan diantaranya adalah dengan;
Pertama; ayat al-Qur’an surat al-Nisa>’ {[4]; 1, yang menjelaskan asal penciptaan manusia, antara laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga tidak ada diskriminasi. Dan surat al-Taubah [9]; 71, yang menjelaskan tentang kewajiban melakukan kerjasama dalam berbagaibidang kehidupan antara lelaki dan perempuan. Surat al-Nisa>’[4]; 34 yang menyatakan lelaki memiliki kekuasaan atas perempuan, jika memenuhi persyaratan yang disebutkan, dan kalau tidak berarti perempuan dapat menggantikan posisi itu. Surat al-H{ujura>t, [49]; 13, manusia adalah sama dihadapan Allah swt, yang membedakan adalah taqwanya. Surat al-Isra>’, [17]; 70, kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah dan memiliki sejumlah hak dan kewajiban dan ayat-ayat lainya.
Kedua; hadith Nabi saw yangberbunyi (من لا يهتم بأمر المسلمين فليس منهم) artinya; barang siapa yang tidak peduli dengan kepentingan umat Islam, bukan termasuk dari golongan mereka.
Ketiga; berupa qiyas (analogi) dari kisah Ratu Bilqi>s.
Keempat; persoalan baiat nabi atas para wanita sahabat.
Argument yang diungkapkan Musdah ini sebenarnya diakui dan di amini oleh jumhur, karena argument ini semua sebuah hal memang maklum. Karena mayoritas para ulamapun demikian, dengan mamakai juga dalil al-Istis}h}a>b (hukum asal, yaitu selama belum ada dalil yang melarangnya, maka segala sesuatu itu boleh hukumnya) . Disini yang menjadi persoalan bagi mayoritas para ulama adalah subtansi wanita sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, itu saja, bukan persoalan jabatan selain kepala negara, karena mayoritaspun mengakuinya. Yang paling subtantif dari argument Musdah adalah yang ketiga, yaitu analogi terhadap kisah Ratu Saba>’, Bilqi>s, yang memang, kita perlu cermati bersama, agar tidak ada pertentangan antara hadith s}ahi>h diatas dengan al-Qur’an. Bisa saja mereka yang memperbolehkan wanita sebagai sebagai pemimpin dengan memakai analogi ini, karena al-Qur’an sendiri, menyebutkannya. Tapi apakah hanya sampai disitu saja, karena walaupun Bilqis adalah merupakan ratu yang memiliki singgasana besar, namun pada akhirnya juga tunduk dihadapan Sulaiman as. Ini menunjukan kekalahan dan kelemahan Bilqis dan superioritas kekuatan Sulaiman as.
Maka melihat kisah ini, penulis memiliki kesimpulan bahwa wanita seakarang boleh saja sepert Bilqis, karena memang tidak ada larangan secara tegas, namun apakah kita mau Bilqis ditundukan oleh Sulaiman sekarang, tanpa melihat apa motif dan kepentingannya?. Jadi analogi semacam ini juga kurang kuat, bila kita hadapkan dengan hadith diatas yang bersifat umum, namun tidak memakai larangan, hanya arti tersirat yang penulis mencoba melalui penafsiran metode psikologi, yang jarang digunakan untuk memperkuat hadith tersebut.
Begitu juga apa yang dilakukan oleh Fari>d Abd al-Kha>liq dalam pemaknaan hadith tesebut, yang sebelumnya Fari>d melakukan sedikit pelemahan hadith tersebut, dengan menyebutnya sebagai hadith ahad yang isi kandungannya tidak jelas, menurutnya. Namun pada akhirnya ia juga mengkritisi orientasi pemaknaan teks dengan mengatakan bahwa teks tersebut bersifat khusus karena ada indikasi yang memperbolehkan pengalihan makna lahirnya atau mengalihkan keumumannya menjadi khusus. Dia mengatakan bahwa mengangkat pemimpin termasuk perkara politik yang tidak memiliki nas} yang jelas. Menurut hemat penulis ketidak jelasan nas} menurut Fari>d adalah terletak pada kehujjahan hadith ahad yang menurut Fari>d bertentangan dengan asumsinya, karena baginya persoalan pemimpin bukan terlelak pada persoalan gender tapi terletak pada kompetensinya daripada yang kurang berkompetensi. Bisa dikatakan Fari>d ingin mengatakan bahwa syarat pemimpin adalah kemampuan . Namun penulis juga mengkritisi, kenapa Fari>d tidak mau melakukan penelitian dari sisi ilmu psikologi tentang perbedaan gender (kelamin) akan mempengaruhi kemampuan memimpin (apalagi dalam persoalan yang besar; dalam hal ini adalah Negara). Dalam hal ini penulis yakin bahwa kemampuan yang terdapat dalam persyaratan pemimpin tertinggi adalah bukan kemampuan biasa, tetapi luar biasa.
Menurut hemat penulis sebaiknya menafsiri hadith tersebut tidak sederhana, namun harus melakukan penelitian apa fungsi dan tugas pemimpin tertinggi dalam sebuah Negara dan sifat-sifat apa yang diperlukan pada seorang pemimpin, terus kemudian sifat-sifat tersebut lazimnya ada pada lelaki atau wanita?. Disini tetap dibutuhkan adanya pisau analisis psikologis, sehingga mampu menerjemahkan orientasi pemahaman secara komprehenship tetang hadith tersebut. Malah penulis menganggap pemaknaan jumhur atau mayoritas ulama atas hadith tersebut lebih rasional dengan argumen-argumen beberapa teori hukum Islam (us}ul al-fiqh) dan teori psikologis yang akan kami tulis berikut ini.
C. Teori Hukum Islam dan Teori Gender bagi Sang Pemimpin Negara
Wahbah al-Zuhaili> menulis bahwah tugas kepala Negara adalah sangat berat dan berbahaya, dan membutuhkan kemampuan yang sangat tinggi, dan wanita biasanya tidak mampu memikulnya, suatu tugas yang didalamnya bisa kemungkinan terjadi perang, damai dan situasi-situasi yang berbahaya . Apa yang dikemukakan al-Zuhaili>, bukanlah hal yang aneh, karena memang tugas negara adalah berat, tidak sebagaimana tugas-tugas lainnya. Sebuah tugas yang memerlukan pengendali yang dapat membawa tugas negara pada tujuan sejatinya. Al-Mawardi> dan Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa kepemimpinan besar mengharuskannya untuk menjaga agama, melaksanakan hukum terhadap orang yang membangkang, member perlindungan, menegakan hukum h}udu>d, mempertahakankan negara dan berperang memimpinnya secara langsung .
Prof. Dr. Abd al-Razza>q Ahmad al-Sanhu>ri> (w.1971 M) menulis bahwa syarat calon khalifah, presiden atau kepala negara adalah lelaki, karena perempuan sebagaimana yang disampaikan oleh al-Taftaza>ni> dalam kitabnya Taqri>b al-Mara>m, tidak memungkinkan untuk melakukan tugas-tugas berat sebagaimana mestinya, terlebih dalam persoalan perang dimana Kepala Negara adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang . Dan yang paling menarik dari apa yang telah ditulisnya, al-\Sanhu>ri> mengatakan dalam catatan kakinya bahwa sebagian pakar berargumen bahwa wanita termasuk memiliki kekurangan dalam akal dan agamanya. Kemudian al-Sanhu>ri> juga mengungkapkan, dan tidak diragukan lagi andaikan kita menerima prinsip persamaan lelaki dan perempuan, maka sesungguhnya wanita dalam kehidupan social di dunia Timur dari dulu sampai saat ini, atau bahkan dalam dunia Barat sekalipun, wanita tidak lebih hebat daripada pria. Ini memperkuat apa yang kami katakan sebelumnya, tentang kekalahan argument kelompok persamaan gender.
Kalau kita amati dalam kehidupan social bangsa-bangsa, wanita jarang ditempatkan pada jabatan paling strategis tersebut. Penulis akan menanyakan kepada Barat sebagai pengusung kesetaraan gender dalam kepemimpinan tertinggi, kalaupun mereka secara teori mengimani adanya keseteraaan tersebut, mengapa di Amerika dan Negara-negara Barat lainnya, tidak pernah ada presiden wanita? Secara teori memang Islam dengan tegas menghalanginya, hal ini bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah daripada pria, hanya saja soal pembagian tugas dan rasa Islam memelihara fitrah perempuan itu sendiri dari hal-hal kurang memihak padanya. Penulis juga setuju andaikan pelarangan ini diterapkan pada posisi strategis lainnya, yang kurang cocok bagi wanita, sebagaimana panglima perang, sampai juga mungkin kuli beban berat.
Penulis juga menemukan argument dari kalangan mereka yang memperbolehkan kepemimpinan negara dikendalikan oleh wanita yang di tulis oleh Ahmad Rofik yang mengatakan secara tidak langsung dia menyebut bahwa selama ini fiqh perempuan (yang ditulis oleh ulama klasik) ditulis dan diformulasikan oleh para fuqaha lelaki, yang menurur Rofiq bisa menjadi controversial, karena memiliki corak misoginik dan segregatif , pandangan seperti ini yang menurut Rofiq perlu adanya dekonstruksi atau rekonstruksi fiqh perempuan dan pandangan itu perlu dieleminir . Apa yang dikatakan Rofiq sangat berlebihan, bahwa para ulama dianggap melakukan hal-hal tersebut, justru dalam hal ini, para pakar klasik telah menunaikan kewajiban intelektualnya dengan penelitian yang cukup konprehensip pandangan-pandangan fiqh mereka dari berbagai aspek, bahwa semua ulama Islam dari seluruh sekte telah sepakat akan terlarangnya wanita memiliki jabatan kepala Negara (Khali>fah) . Namun ada juga sebagian kecil dari ulama Khawa>rij memperbolehkannya, akan tetapi sangat sedikit dan tidak memiliki argumentasi yang kuat .
Demikian pula penulis juga menulis dari kacamata fiqh prioritas, yang akan saya ungkapkan sebagi argument analisa hukum.
Merujuk pada argumen yang saya ungkapkan, saya akan berupaya mengetengahkan teori hukum Islam yang mendukung tentang larangan wanita dalam memegang jabatan tertinggi dalam sebuah negara, yang pada akhirnya mendukung terhadap rasionalisasi pemaknaan hadith s}ahi>h secara benar. Mengingat banyak kalangan yang meragukan keberadaan hadi>th ini dan implikasi hukumnya. Dan teori-teori yang secara teologis dan rasional justru penulis temukan pada pemaknaan jumhur atau mayoritas ulama terhadap hadith diatas. Diantaranya dasar hukum larangan tersebut dilihat dari dua tinjauan adalah :
1. Al-Qur’a>n dan al-Sunnah
Dari dua dasar hukum Islam inilah memunculkan teori-teori hukum Islam lainnya sebagai landasan pemikiran hukum Islam. Dalam persoalan ini, penulis akan mengetengahkan dalil-dalil us}u>liyyah sebagai penguat argument.
a. Konsep Ijma’
Sebagaimana telah dicatat oleh Dr. Sawqi Abu Khali>l bahwa telah terjadi ijma’ ulama tentang keharusan seorang lelaki pemimpin Negara. Ibnu Hazm menulis :
وجميع فرق أهل القبلة ليس منهم أحد يجيز إمامة امرأة
“Seluruh umat Islam sepakat tidak diperkenan bagi seseorang untuk menjadikan seorang wanita sebagai pemimpin”. Adapun selain khali>fah sebagaimana hakim atau yang lain adalah khila>f atau terjadi perbedaan pandangan.
b. Konsep Qiya>s
Konsep ini justru sering dipakai oleh mereka yang mendukung bolehnya wanita sebagai Kepala Negara, dengan menganalogikan kedudukan Bilqis diantara kaumnya. Menurut Baltaji, yang pertama kali menganalogikan persoalan ini adalah al-Shaikh Muhammad al-Ghaza>li> dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya, sebagaimana Musdah Mulia, Anik Farida , Hibbah Rauf Izzat dan lain-lain. Kritik penulis mereka menqiya>s kedududukan Bilqis sebagai Ratu Saba’ adalah kurang lengkap, sebelum menganalisa hingga selesai. Sedangkan penulis mengqiyaskan kakalahan Bilqis dihadapan Nabi Sulaiman as adalah lebih tepat.
c. Konsep Istihsa>n
Kami bisa saja menganggap bahwa andaikan ada ayat yang memperbolekan wanita sebagai presiden, maka kami akan memakai dalil istihsan, yaitu sesuai dengan pemahaman al-Qur’an yang merupakan sumber rumusan fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyya>t). sebagaimana kisah Ratu Bilqis, andaikan itu dijadikan dalil sebagai kewenangan wanita memimpin sebuah Negara, maka kami memandang harus dilarikan ke qiyas khafi>> (kemenangan Sulaiman as) yaitu melalui istimbat hukum yang bernama istihsan. Dengan rumusan bahwa lelaki adalah lebih baik (menjadi Pemimpin Negara) dari pada wanita. Konsep yang penulis kemukakan ini merujuk pada dalil-dalil istih}san, yaitu :
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ [الأعراف/145] الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ [الزمر/18]
d. Konsep al-Mas}lah}ah} al-Mursalah
Andaikan tidak ada dalil yang melarang (disini ada dalil; namun mereka menganngapnya sebagai hadith ahad, bahkan mereka menganggap tidak memilki kekuatan hukum apapun) atau yang memerintahkannya, maka kami menggunakan dalil maslahat. Sebagaimana yang diterangkan sebelumnya, bahwa tugas pemimpin negara adalah menjaga konstitusi negara dan sebagai orang Islam, menjaga apa yang ada dalam maqa>s}id al-shari>’ah (tujuan shari>ah), menjadi panglima perang dalam sebuah pertempuran ketika memang mengharuskan adanya pertempuran, dalam hal ini lelaki lebih memberikan kepercayaan kepada ketentramana rakyatnya, mengingat adanya perbedaan phisilogis dan psikologis lelaki dan wanita.
e. Konsep ‘Urf
Konsep ‘Urf juga bisa menjadi dalil atau hujjah pelarangan tersebut , karena memang secara umum (mayoritas terjadi adanya wanita menjadi presiden).
f. Konsep al-Dhari>’ah
Kondisi negara adalah kondisi yang bisa saja tidak menentu, dalam kondisi perang misalnya dibutuhkan pemimpin pemberani yang berpengalaman, maka karena demi menutup terjadinya kehancuran, seharusnya memilih seorang yang pemberani dan wanita jarang memilikinya, dan Islam tidak ingin menanggung resiko kehancuran sekecil apapun demi kemaslahatan umat. Maka konsep keberanian temasuk dalam syarat prioritas (al-Shuru>t} al-Afd}aliyyah).
2. Perbedaan Biologis
Nasaruddin Umar mengutip dari beberapa ahli bahwa manusia adalah salah satu makhluk biologis yang mempunyai berbagai keistimewaan disbanding makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh manusia memiliki beberapa keunggulan sebagaimana dapat dilihat dalam perilaku manusia, potensi keunggulan itu menjadikan manusia sebagai penguasa di bumi (Khali>ah fi> al-Arz}).
Tentang kenyataan akan adanya perbedaan secara biologis antara lelaki dan perempuan tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi terjadi perbedaan efek biologis terhadap prilaku manusia yang telah telah menimbulkan perdebatan, sehingga muncul banyak teori. Sejumlah ilmuan menganggap bahwa perbedaan anatomi biologis dan kompsisi kimia dalam tubuh mempengaruhi perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing. Unger, misalnya mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara lelaki dan perempuan sebagai berikut:
Laki-laki (Masculine) Perempuan (feminine)
Sangat agresif Tidak terlalu agresif
Independen Tidak terlalu independen
Tidak emosional Lebih emosional
Dapat menyembunyikan emosi Sulit menyembunyikan emosi
Lebih objektif Lebih subjektif
Tidak mudah terpengaruh Mudah terpengaruh
Tidak submisif Lebih submisif
Sangat menyukai pengetahuan eksakta Kurang menyukai pengetahuan eksakta
Tidak mudah goyah terhadap krisis M udah goyah terhadap krisis
Lebih aktif Lebih pasif
Lebih kompetitif Kurang kompetitif
Lebih logis Kurang logis
Lebih mendunia Berorentasi ke rumah
Lebih termpil berbisnis Kurang termpil berbisnis
Lebih berterus terang Kurang berterus terang
Memahami selak-beluk perkembangan dunia Kurang memahami selak-beluk perkembangan dunia
Berperasaan tidak mudah tersinggung Berperasaan mudah tersinggung
Lebih suka berpetualang Tidak suka berpetualang
Mudah mengatasi persoalan Sulit mengatasi persoalan
Jarang menangis Lebih sering menangis
Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin Tidak umum tampil sebagai pemimpin
Penuh percaya diri Kurang rasa percaya diri
Lebih banyak mendukung sifat agresif Kurang senang terhadap sifat agresif
Lebih ambisi Kurang ambisi
Lebih mudah membedakan antara rasa dan rasio Sulit membedakan antara rasa dan rasio
Lebih merdeka Kurang merdeka
Tidak canggung dalam penampilan Lebih canggung dalam penampilan
Pemikiran lebih unggul Pemikiran kurang unggul
Lebih bebas berbicara Kurang bebas berbicara.
Konsep hukum dengan dasar al-Qur’a>n dan al-Hadith serta kaidah-kaidah Us}u>liyyah sebagai dasar teologis penetapan hukum larangan wanita sebagai presiden dan konsep perbedaan biologis yang telah menjadi rujukan para psikologis bahwa perbedaan biologis mempengaruhi watak dan tabi’at masing, maka lengkaplah menunjukan bahwa secara sanad atau maknanya sangat tepat dan rasional.
D. Kesimpulan
Demikianlah penulis menganggap bahwa orientasi dan pemaknaan hadi>th teresebut secara z}ahir masih dan logika tetap berlaku, namun hal ini juga bisa ditawar, bila suatu negara yang sama sekali tidak ada lelaki yang mampu mengendalikan negara selain wanita, maka hal itu sah saja, karena darurat. Karena yang paling penting dari semua dari persyaratan tersebut bukan karena gendernya, namun syarat-syarat yang lain, meminjam istihah Muhammad al-Ghaza>li>, adalah mereka adalah orang yang terbaik disekalian anak bangsanya.
Demikianlaj makalah ini saya sampaikan semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
Abd al-Kha>liq, Fari>d, Fi> al-Fiqh al-Isla>mi> Maba>di’ Dustu>riyyah al-Shu>ra> al-Adl al-
Musa>wah, (Da>r al-Shuru>q, 1998 M), diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, Pen. Faturrahman A.Hamid, Lc, Fikih Politik Islam, (Jakarta; AMZAH, 2005,)
Abu H{asan al-Mawardi> wa al-Wila>ya>t al-Di>niyyah, (Kairo; al-Maktabah al-
Tawfi>>qiyyah, 1978)
Abu Khali>l, Sawqi>, al-H{ad}a>rah al-‘Arabiyyah al-Isla>miyyah, (Libya, Tripoli; Kuliyyat
al-Da’wah al-Islamiyyah, cet. II, 1993)
al-‘Asqala>ni> al-Sha>fi’i>, Ahmad bin Ali> bin Hajar, Fath al-Ba>ri> Sharh S{ah}i>h} al-Bukha>ri>,
vol. VIII (Baeru>t; Da>r al-Ma’rifah, 1379 H)
Ahmad , Khurshid, (ed), Islam Its Meaning and Massage, The Islamic Foundation
al-Baghda>di>, Abd al-Qa>hir, al-Farq bain al-Firaq, (Baereu>t; 1973), 65-66, dan Lihat Na>ji>
H{asan, Thawrah Zaid bin Ali>, (Bahgda>d, 1966)
al-Baghawi>, al-Husain bin Mas’u>d, Sharh al-Sunnah, vol. X , tahqi>q; Shu’aib al-Arna>u>t}
dan Muhammad Zuhair al-Sha>wi>sh, (Baerut-Damascus; al-Maktab al-Isla>mi>,
1983)
al-Baihaqi>, Abu Bakr Ahmad bin al-H{usain bin ‘A
III (India; Majlis Da>irah al-Ma’a>rif, 1344 H), 90
Baltaji, Muhammad, Makanat al-Mar’ah fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-Sunnah al-S{ahi>hah,
al-H{uqu>q al-Siya>siyyah wa al-Ijtima>iyyah wa al-Shakhs}iyyah li al-Mar’ah fi> al-Mujtama’ al-Isla>mi>, (Mesir; Da>r al-Sala>m, 2005 M)
Black, Antony, The History of Islamic Political Thought; From the Prophet to the
Present, (Edinburgh University Press, 2001), diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati dengan judul; Pemikiran Politik Islam, (Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)
al-Ghaza>li>, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadi>th,
(Da>r al-Shuru>q, cet.IV, 1989)
‘Ima>rah, Muhammad, al-Isla>m wa Falsafat al-Hukm, (Mesir-Kairo; Da>r al-Shuru>q, 1989
M)
al-Kha>lidi>, Mahmu>d Abd al-Maji>d, Qawa>’id Niz}a>m al-H{ukm fi> al-Isla>m, (Kairo; Da>r al-
Buh}uth al-Ilmiyyah, 1980)
Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005)
al-Nasa>i>, Ahmad bin Shu’aib bin Abu> Abd al-Rahma>n, Sunan al-Nasa>i> al-Kubra>, vol. III
(Baeru>t; Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991)
Pius A. Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya; Penerbit
Arkola, tt)
Rauf Izzat, Hibbah, Wanita dan Politik, Pandangan Islam, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 1997) Judul aslinya adalah al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siya>si>, penerjemah; Bahruddin Fannani
Rofiq, Ahmad, Fiqh Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (ed. Mu’ammar
Ramadhan, DA), (Semarang; Pustaka Pelajar dan LSM DAMAR Semarang, 2004)
al-Sanhu>ri>, Abd al-Razza>q Ahmad, Fiqh al-Khila>fah wa Tat}awwuruha> (Mesir; al-Haiah
al-‘A
al-Siba>’i>, Mus}t}afa>, al-Mar’ah baina al-Fiqh wa al-Qa>nu>n, (al-Maktab al-Isla>mi>, 1404
H/1984M)
al-Shaiba>ni>, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal, vol. V (Kairo;
Qurtubah, tt)
al-T{abari>, Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k (Ta>ri>kh al-
T{abari>), vol. II (Baeru>t; Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah)
al-T{aya>li>si>, Sulaima>n bin Dawu>d Abu> Da>wud al-Fa>risi> al-Bas}ri>, Musnad Abi> Da>wud al-
T{aya>li>si>, (Baerut; Da>r al-Ma’rifah, tt)
al-Turmudhi> al-Salami>, Muhammad bin ‘Isa> Abu> ‘Isa>, al-Ja>mi’ al-S{ahi>h, Sunan al-
Turmudhi>, vol. IV (Baerut; Da>r Ihya> al-Tura>th al-‘Arabi>,t.t)
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta;
Paramadina, 2001)
Unger, Rhoda K. Female and Male Psychological Perspective, (New York, Philadelphia,
san Francisco, & London, 1979), 30
al-Z{a>hiri>, Ali> bin Ahmad bin Sa’i>d bin Hazm, al-Fas}l fi al-Milal wa al-Ahwa>I wa al-
Nihal, vol. VI (Mesir-Kairo; Maktabah al-Khanji>, tt)
al-Zuhaili>, Wahbah , al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuhu, vol. VIII (Damascus; Da>r al-Fikr,
tt)
al-Zuh}aili>, Wahbah, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, vol. II (Damascus; Da>r al-Fikr, 1996)