selamat

Selamat datang di smp takhasus tumiyang sumber ilmunya daerah pekuncen dan sekitarnya, terima kasih atas kunjungan anda

Sabtu, 02 April 2011

kajian tafsir

Tafsir surat alfatihah


surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti: menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan perbuatan-perbuatan Allah ta’ala yang lainnya. Maknanya Allah itu esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal mencipta, menghidupkan dan mematikan makhluk.

Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti: dalam hal berdoa, merasa takut, berharap, bertawakal, meminta pertolongan (isti’anah), memohon keselamatan dari cekaman bahaya (istighatsah), menyembelih binatang, dan perbuatan-perbuatan hamba yang lainnya. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mereka untuk menjadikan segala ibadah itu ikhlas semata-mata tertuju kepada Allah ‘azza wa jalla sehingga mereka tidak mempersekutukan sesuatupun bersama-Nya dalam hal ibadah. Sebagaimana tiada pencipta kecuali Allah, tiada yang menghidupkan kecuali Allah, tiada yang mematikan kecuali Allah, maka tiada yang berhak disembah kecuali Allah.

Tauhid asma’ wa shifat adalah menetapkan nama dan sifat yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri-Nya tanpa disertai dengan tahrif (penyelewengan makna), ta’wil (penafsiran yang menyimpang), ta’thil (menolak makna atau teksnya), takyif (menegaskan bentuk tertentu dari sifat Allah), tasybih (menyerupakan secara parsial) ataupun tamtsil (menyerupakan secara total). Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11). Sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang kebenaran madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yaitu dengan menetapkan sifat serta menyucikan-Nya. Di dalam firman-Nya ‘azza wa jalla, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” terdapat penetapan dua buah nama Allah yaitu As Sami’ (Maha Mendengar) dan Al Bashir (Maha Melihat). Kedua nama ini menunjukkan keberadaan dua sifat Allah yaitu As Sam’u (mendengar) dan Al Bashar (melihat). Sedangkan di dalam firman-Nya ta’ala, “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” terdapat penyucian Allah ta’ala dari keserupaan diri-Nya dengan makhluk dalam sifat-sifat mereka. Allah subhanahu wa ta’ala mendengar tetapi tidak sebagaimana pendengaran makhluk. Dia juga melihat namun tidak sama seperti penglihatan mereka.

Bahkan ayat pertama yang terdapat dalam surat yang agung ini sudah mencakup ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dengan firman-Nya, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka.

Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam firman-Nya ta’ala, “Rabbil ‘alamin.” (Rabb seru sekalian alam). Hal itu disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Hal itu sebagaimana difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla, “Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian serta orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit menjadi atap, dan Dia lah yang menurunkan air hujan dari langit kemudian berkat air itu Allah menumbuhkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 21-22)

Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat pertama itu pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah lafzhul jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk mudhaf (dipadukan dengan kata lain, pen). Sedangkan pada ayat lainnya yang tercantum dalam surat Yasin ia disebutkan secara bersendirian tanpa perpaduan, yaitu dalam firman-Nya, “Salamun qaulan min rabbir rahim” (Semoga keselamatan tercurah dari rabb yang maha penyayang) (QS. Yasin: 58)

Adapun ‘alamin’ adalah segala makhluk selain Allah. Allah subhanahu wa ta’ala dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dia lah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk. Allah ‘azza wa jalla bercerita tentang kisah Musa dan Fir’aun, “Fir’aun mengatakan, ‘Apa itu rabbul ‘alamin?’ Maka Musa menjawab, ‘Dia adalah rabb penguasa langit, bumi, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya, jika kamu mau jujur meyakininya.’.” (QS. Asy Syu’ara’: 23-24)

‘Ar Rahman Ar Rahim’ (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) merupakan dua buah nama Allah yang menunjukkan salah satu sifat Allah yaitu rahmah (kasih sayang). Ar Rahman termasuk kategori nama Allah yang hanya boleh dipakai untuk menyebut Allah. Sedangkan nama Ar Rahim telah disebutkan di dalam al-Qur’an pemakaiannya untuk menyebut selain-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat olehnya apa yang menyulitkan kalian, dan dia sangat bersemangat untuk memberikan kebaikan bagi kalian, dan dia sangat lembut dan menyayangi orang-orang yang beriman.” (QS. At Taubah: 128)

Ibnu Katsir mengungkapkan tatkala menjelaskan tafsir basmalah di awal surat Al Fatihah, “Kesimpulan yang dapat dipetik adalah sebagian nama Allah ta’ala ada yang bisa dipakai untuk menamai selain-Nya, dan ada yang hanya boleh dipakai untuk menamai diri-Nya -seperti nama Allah, Ar Rahman, Al Khaliq, Ar Raziq dan sebagainya- .”

‘Maliki yaumid din’ menunjukkan kepada tauhid rububiyah. Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dia lah Raja yang menguasai dunia dan akhirat. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Milik Allah kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan Dia Maha menguasai segala sesuatu.” (QS. Al Ma’idah: 120). Allah juga berfirman, “Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Mulk: 1). Allah berfirman, “Katakanlah; Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia yang melindungi dan tiada yang dapat terlindungi dari siksa-Nya, jika kalian benar-benar mengetahui? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah; Lantas dari sisi manakah kalian tertipu.” (QS. Al Mu’minun: 88-89)

Yaumid din adalah hari terjadinya pembalasan dan penghitungan amal. Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa pada hari pembalasan -padahal Dia adalah penguasa dunia dan akhirat- dikarenakan pada hari itu semua orang pasti akan tunduk kepada Rabbul ‘alamin. Berbeda dengan situasi yang terjadi di dunia, ketika di dunia masih ada orang yang bisa melampaui batas dan menyombongkan dirinya, bahkan ada pula yang berani mengatakan, “Aku adalah rabb kalian yang paling tinggi.” Dan dia pun lancang mengatakan, “Wahai rakyatku semua, tidaklah aku mengetahui adanya sesembahan bagi kalian selain diri-Ku.”

‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ (Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Ini menunjukkan tauhid uluhiyah. Penyebutan objek yang didahulukan sebelum dua buah kata kerja tersebut menunjukkan pembatasan. Ia menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap wajah Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.

‘Ihdinash shirathal mustaqim’ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ini menunjukkan tauhid uluhiyah, sebab ia merupakan doa. Dan doa termasuk jenis ibadah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru bersama Allah siapapun.” (QS. Al Jin: 18). Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk, maka Allah pun akan menambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah akan memberikan ketakwaan kepada mereka.” (QS. Muhammad: 17). Allah juga berfirman tentang Ashabul Kahfi, “Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami pun menambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al Kahfi: 13). Allah juga berfirman, “Dan Allah akan menambahkan petunjuk kepada orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai. Demikian juga dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka itulah golongan Nasrani yang sesat. Hadits yang menerangkan bahwa orang-orang yang dimurkai itu adalah Yahudi dan orang-orang sesat itu adalah Nasrani dikeluarkan oleh At Tirmidzi (hadits nomor 2954) dan ahli hadits lainnya, silakan lihat takhrij hadits ini di buku Silsilah Ash Shahihah karya Al Albani (hadits nomor 3263), di dalam buku itu disebutkan nama-nama para ulama yang menyatakan keabsahan hadits tersebut.

Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. At Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.”

Guru kamu Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka, “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. Al Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka, “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. Al Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. Al A’raaf : 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala, “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Ma’idah: 77)”

Dari penjelasan terdahulu maka jelaslah bahwa surat Al Fatihah mengandung lebih daripada sekedar pembahasan ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Sebagian ulama ada juga yang membagi tauhid menjadi dua macam: tauhid fil ma’rifah wal itsbat -ia sudah mencakup tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat- dan tauhid fi thalab wal qashd yang tidak lain adalah tauhid uluhiyah. Maka tidak ada pertentangan antara pembagian tauhid menjadi dua ataupun tiga. Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi mengatakan di dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 42-43), “Kemudian, tauhid yang diserukan oleh para utusan Allah dan menjadi muatan kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya ada dua macam: tauhid dalam hal penetapan dan pengenalan (itsbat wal ma’rifah), dan tauhid dalam hal tuntutan dan keinginan (fi thalab wal qashd). Adapun tauhid yang pertama adalah penetapan hakikat Rabb ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam perkara-perkara itu semua. Hal itu sebagaimana yang diberitakan oleh Allah mengenai dirinya sendiri, dan juga sebagaimana yang diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. al-Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang mengenai jenis tauhid ini, sebagaimana tercantum di dalam bagian awal surat Al Hadid, Thaha, bagian akhir surat Al Hasyr, bagian awal surat ‘Alif lam mim tanzil’ (As Sajdah), awal surat Ali ‘Imran, seluruh ayat dalam surat Al Ikhlas, dan lain sebagainya. Yang kedua: Tauhid thalab wal qashd, seperti yang terkandung dalam surat Qul ya ayyuhal kafirun, Qul Ya ahlal kitabi ta’aalau ila kalimatin sawaa’in bainana wa bainakum, awal surat Tanzilul Kitab dan bagian akhirnya, awal surat Yunus, pertengahan, dan bagian akhirnya, awal surat Al A’raaf dan bagian akhirnya, dan surat Al An’aam secara keseluruhan. Mayoritas surat-surat al-Qur’an mengandung dua macam tauhid tersebut, bahkan setiap surat dalam al-Qur’an demikian halnya; sebab al-Qur’an itu meliputi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, inilah yang disebut dengan tauhid ilmi khabari. Ia juga berisi tentang dakwah yang mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya serta menanggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, inilah yang disebut tauhid iradi thalabi. Ia juga berisi tentang perintah dan larangan serta kewajiban untuk menaati-Nya, ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna baginya. Ia juga mengandung berita mengenai pemuliaan yang diberikan bagi orang-orang yang bertauhid, kebaikan yang Allah limpahkan kepada mereka di dunia dan kemuliaan yang akan mereka terima di akhirat, maka itu semua merupakan balasan bagi ketauhidannya. Ia juga berisi berita mengenai para pelaku kesyirikan, siksa yang Allah timpakan kepada mereka sewaktu di dunia dan azab yang harus mereka rasakan di akhirat, maka itu merupakan balasan bagi orang-orang yang meninggalkan tauhid. Dengan demikian seluruh bagian dari al-Qur’an berisi tentang tauhid, hak-haknya, dan balasannya, serta menjelaskan tentang syirik, pelakunya, dan balasan (hukuman) yang diberikan kepada mereka. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah tauhid. Maliki yaumid Din adalah tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang mengandung permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang telah mendapatkan anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang sesat; yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”

Dikarenakan keagungan kedudukan surat Al Fatihah ini dan ketercakupannya terhadap tauhidullah dalam hal rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya, kandungan permohonan petunjuk meniti jalan yang lurus, dan dikarenakan kebutuhan setiap muslim terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap apapun dan lebih mendesak, maka surat ini pun disyari’atkan untuk dibaca di setiap raka’at shalat. Di dalam Sahih Bukhari (756) dan Muslim (393) dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Di dalam Sahih Muslim (878) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat yang tidak membaca Ummul Qur’an di dalamnya maka shalatnya pincang -tiga kali- yaitu tidak sempurna.” Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Kalau kami sedang berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau menjawab, “Bacalah untuk diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman : ‘Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.’ Kalau hamba itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Kalau dia membaca, ‘Ar Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku’. Kemudian Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah kepada-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca, ‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah hak hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”

Makna dari firman Allah di dalam hadits qudsi ini, “Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.” ialah: kalimat yang pertama yaitu ‘Iyyaka na’budu’ mencakup ibadah, dan itu merupakan hak Allah. sedangkan kalimat yang kedua (yaitu wa iyyaka nasta’in, pen) mengandung permintaan hamba untuk memperoleh pertolongan dari Allah dan menunjukkan bahwa Allah berkenan memberikan kemuliaan baginya dengan mengabulkan permintaannya.

Guru kami Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengambil kesimpulan hukum dari surat Al Fatihah ini untuk menetapkan keabsahan kekhilafahan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/51), “Dari ayat yang mulia ini diambil kesimpulan mengenai keabsahan kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Hal itu dikarenakan beliau termasuk golongan orang yang disebut di dalam As Sab’ul Matsani dan Al-Qur’an Al ‘Azhim -yaitu dalam surat Al Fatihah- yang Allah perintahkan kita untuk meminta petunjuk kepada-Nya agar bisa meniti jalan mereka. Maka hal itu menunjukkan bahwa jalan mereka adalah jalan yang lurus. Hal itu sebagaimana disinggung dalam ayat-Nya, “Ihdinash shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta ‘alaihim.” Allah telah menerangkan siapa saja golongan orang yang diberikan kenikmatan itu, dan di antara mereka adalah orang-orang shiddiq. Sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu termasuk kategori orang-orang shiddiq. Dengan demikian jelaslah bahwa beliau pun termasuk dalam golongan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah itu, itulah isi perintah Allah kepada kita yaitu memohon petunjuk agar bisa berjalan di atas jalan mereka, sehingga tidak lagi tersisa sedikit pun kesamaran bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu benar-benar berada di atas jalan yang lurus, dan hal itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau adalah sah.”









Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Tentang Muka Masamnya Nabi Saw

Oleh: Mukhsin,Lc (curugawu)

[Sebuah Tinjauan Sosiologis]

Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.

Seperti yang ditulis oleh para sejarawan, bahwa sejarah masa lalu umat manusia senantiasa diliputi oleh pelbagai tragedi kemanusiaan, penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang mewarnai sederet epos sejarah peradaban masa itu, yang warisan dan jejaknya masih bisa kita lihat dan kita rasakan hingga hari ini.

Zaman tersebut di atas benar-benar pernah terjadi bahkan dengan modelnya yang paling extrem yang terjadi di zaman gelap jahiliyah, dimana Nabi pernah hidup di dalamnya. Kondisi begitu buruknya sehingga kelas-kelas penguasa dari bangsawan kafir Quraish dengan seenaknya tanpa kontrol apapun melakukan penindasan, merampas dan menghancurkan kehormatan mereka, sehingga kelas masyarakat yang kemudian lebih kita kenal sebagai kaum Mustazdafin dan kalangan budak itu merasakan kehidupan yang paling menyengsarakan dan penuh penderitaan.

Hubungan antara kaum kaya bangsawan dan kalangan miskin membentuk semacam dua kutub yang pada akhirnya melahirkan hubungan tuan dan budak. Budak praktis kehilangan seluruh identitas dirinya yang tidak lain mereka adalah milik dan dimiliki sepenuhnya oleh tuan-tuan mereka, diri mereka kini menjadi milik majikannya.

Seperti yang juga ditulis oleh Prof Shihab, bahwa keadaan yang demikian melazimkan lahirnya sebuah hubungan yang khas antara rakyat dan kaum Mustazdafin di satu pihak dan Bangsawan Quraish di pihak yang lain, sehingga garis pembatas di antara keduanya semakin menganga lebar dan memungkinkan Pembesar-pembesar Kafir Quraish untuk senantiasa mengelola kejahatan dan kesewenangan mereka dengan pelbagai cara yang menjauhkan mereka dari adanya pihak yang mampu mengontrol kebiadaban mereka. Kenyataan tersebut meniscayakan sulitnya mereka untuk dapat berbaur bersama dengan kaum papa tersebut, sulit rasanya kita bisa merindukan mereka duduk bersama di atas permadani dan alas yang sama pula, sebuah mimpi di siang bolong!

Ustad Quraish dengan jernih melihat kenyataan di atas untuk menilik sebuah turunnya surat, dan kali ini adalah sebuah surat yang terus menerus menjadi silang pendapat di kalangan kaum muslimin yaitu surat Abasa watawalla, yang pada sebagian mufasirin melihat turunnya surat tersebut berkaitan dengan Abdullah ibn Ummi Maktum seorang Mustazdafin Mekah yang buta kedua matanya, yang datang untuk menghadiri acara khusus, yaitu pertemuan antara Rasul dan Pembesar-pembesar Quraish, mereka beranggapan bahwa kejadian di atas membuat Nabi gerah karena terjadi justru ketika pembicaraan sedang berlangsung dan tiba-tiba ibn Maktum melontarkan serangkaian pertanyaan, dan diyakini oleh mereka bahwa atas kelancangan ibn Maktum itulah Nabi kemudian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dengan raut muka yang masam kemudian memalingkan wajahnya. Pertanda bahwa Rasul Muhammad saw tidak menyukai peristiwa yang baru saja dialaminya tersebut.

Sementara sebagian Mufasirin yang lain menisbatkan bahwa ditegurnya seseorang pada peristiwa tersebut oleh Allah swt dalam suratnya adalah orang lain yang menjadi lawan bicara Nabi pada saat itu.

Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebuah rangkaian peristiwa adalah sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, yang diceritakan dan di distribusikan dengan pelbagai cara dan utamanya adalah melalui media tulis, namun sering kali kita dapati bahwa seting sejarah yang disuguhkannya tidak mampu memberikan gambaran yang utuh atas peristiwa yang benar-benar terjadi, apalagi bias dan faktor-faktor internal lainnya sering kali ikut serta mempengaruhi hasil yang hendak dikhabarkan.

Namun demikian dengan berbekal pada pandangan ilmiah yang lebih akurat, akan memberikan kepada kita sebuah celah yang lebih tajam untuk melacak jalannya sebuah sejarah yang terjadi pada masa lalu, dan melakukan rekonstruksi terhadap detail peristiwa yang belum terungkap dengan jelas. Alat ukur tersebut mendorong kita untuk kemudian secara konsisten penjauhan obyek kajian pada posisi yang aman, dan membiarkan sejarah itu sendiri yang “berbicara”, dengan demikian kita akan mampu mendapati alur kisah yang mendekati kenyataan yang sebenarnya.

Kembali pada apa yang ditulis oleh Prof Shihab bahwa peristiwa asbabun-nuzul dari turunnya surat Abasa ditujukan langsung kepada pribadi Muhammad saw dan bukan yang lain.

Mengacu pada apa yang telah dipaparkannya pada tafsir beliau berkaitan dengan turunnya surat Abasa tersebut, kita akan mencoba untuk melakukan analisis dengan mendekati kejadian perkara untuk memudahkan kita dalam menentukan dengan persis siapa sebenarnya orang yang ditegur dalam surat Abasa tersebut.

Setidaknya kita memiliki tiga asumsi dan kemungkinan, yang akan kita uji bersama di mana sesungguhnya peristiwa pertemuan antara Nabi Muhammad dan pembesar-pembesar suku Quraish itu berlangsung, dan turunnya ayat Abasa watawalla tersebut. Menilik tempat kejadian perkara menjadi model yang menurut hemat saya adalah sebuah cara pendekatan yang paling memungkinkan untuk menelusuri dan kemudian memetakan dengan tepat berlangsungnya sebuah peristiwa.

Asumsi yang pertama adalah, bahwa pertemuan itu berlangsung di sebuah tempat atau aula umum yang biasa menjadi tempat di mana khalayak biasa bertemu dan memutuskan perkara-perkara mereka, aula semacam itu setidaknya mensyaratkan sebuah model bangunan yang relatif mudah untuk bisa dijangkau dan dimasuki oleh banyak orang, sehingga apa-apa yang terjadi di dalamnya akan mudah diakses dan diketahui secara langsung oleh kebanyakan orang. Agaknya tempat semacam ini kurang cocok untuk pertemuan kali ini, karena sudah berkali-kali tempat yang demikian justru menjadi lahan yang empuk buat Nabi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya dan seruan tauhidnya, dan sekaligus untuk membuktikan kebohongan-kebohongan agama pagan kafir Quraish. Dan tentu saja kondisi yang demikian sama sekali tidak diharapkan oleh pembesar-pembesar Quraish, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Nabi memanfaatkan ruang publik semacam Ka’bah menjadi sarana menyuarakan misi langitnya, dan itu sudah cukup untuk mengundamg simpati banyak orang. dan kondisi yang demikian akan berakibat buruk untuk posisi dan kedudukan mereka ditengah-tengah masyarakat. Dan seandainya peristiwa tersebut benar-benar terjadi di tempat semacam itu, tentunya ibn Maktum tidak akan tampil sendirian dan akan diikuti oleh kalangan mustazdafin lainnya, untuk melihat dari dekat Nabinya berargumen dan membuktikan kebenaran akan misinya.

Jika pada saat itu ibn Maktum menyela pembicaraan mereka dengan melontarkan pertanyaan perihal dirinya kepada Nabi, dan Nabi kemudian menanggapinya dengan muka yang cemberut dan segera memalingkan wajahnya, tentunya aksi yang demikian akan menjadikan posisi Nabi sangat berbahaya yang jauh dari akhlak mulia yang selama ini beliau kemukakan di banyak kesempatan dan kepada siapa pun, dengan mengatakan hahwa akhlak mulia adalah hiasan kaum beriman, dan inilah sikap yang menjadikan pesona Nabi luar biasa ditengah-tengah masyarakat yang bengis dan jauh dari nilai-nilai mulia. Dan jika benar bahwa Nabi bermuka masam, keadaan demikian akan membuat rasa frustasi pengikut beliau yang hadir pada saat itu karena kini tak ada lagi Nabi yang santun dan ramah yang bisa menghargai harga dirinya di depan pembesar-pembesar Quraish. Sementara pada pihak kafir Quraish bahwa berkumpul di satu tempat dengan para mustazdafin untuk acara sepenting itu adalah bukan pilihan yang tepat, mengingat kehormatan dan harga diri mereka sedang dipertaruhkan pada saat itu.

Dengan kata lain kejadian dan berlangsungnya acara tersebut menjadi sangat kecil kemungkinannya jika berlangsung di tempat seperti itu, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin terjadi.

Asumsi yang berikut adalah bahwa pertemuan diselenggarakan di salah satu rumah dari Pembesar Quraish. Kalau sedikit kita renungkan dan kemudian membayangkan bentuk dari arsitektur rumah para pembesar Quraish saat itu, tentunya akan kita dapati bahwa rumah yang mereka tempati akan dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah orang asing begitu saja bisa memasuki pelataran dan rumah mereka. Penjagaan dan pengawalan ketat dari para budak mereka rasanya sudah cukup untuk bisa menghalau orang seperti ibn Maktum.

Andaikan peristiwa itu memang benar-benar terjadi di salah satu dari rumah mereka, di butuhkan upaya yang cukup besar buat ibn Maktum untuk bisa sekonyong-konyong hadir di tengah-tengah mereka dikala Kafir Quraish dan Nabi sedang terlibat pembicaraan sepenting itu. kecil kemungkinannya kejadian tersebut berjalan tanpa adanya aksiden yang bisa menimpa ibn Maktum.

Dan seperti kebiasaan pembesar dan bangsawan Quraish bahwa pergaulan dan persahabatan hanyalah milik mereka yang sederajat dan adanya ikatan kekeluargaan. Bukan milik yang lain. Orang seperti ibn Maktum, jangankan bisa duduk dan berbicara bersama dengan mereka untuk mendekatpun adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada saat itu.
Kini kita bisa menguji dengan asumsi yang terakhir bahwa pertemuan antara Pembesar-pembesar kafir Quraish dengan Nabi belangsung di kediaman beliau.

Rumah dan kediaman Muhammad Rasulullah adalah rumah tempat persinggahan dan sekaligus tempat di mana kaum mustazdafin mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Di rumah inilah Nabi biasa menjamu dan menerangkan akan misi kenabiannya, kepada siapa saja yang hatinya diketuk oleh suara keimanan, sehingga orang semacam ibn Maktum mendapatkan harapan hidup dan kepercayaan diri, dan di rumah ini jugalah Nabi senantiasa mengulang-ulang ucapannya, bahwa sesungguhnya manusia datang dari asal yang sama dan memiliki martabat yang sama pula di hadapan Tuhannya, dan bahwa kejahatan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan adalah musuh utama dari ajaran sucinya. Dan di tempat ini jugalah sekelompok kaum mustazdafin menyadari akan semua itu dan meneguhkannya dengan kalimat Tauhid, beriman dan berjanji untuk saling menolong di antara mereka. Nabi kini benar-benar telah menyalakan cahaya keimanan dan kemanusiaan ditengah-tengah kehancuran hati merkeka.

Benar adanya bahwa rumah Nabi telah sering menjadi tempat berkumpul dan persinggahan buat mereka yang mencari perlindungan keimanan, terutama dari kalangan mustazdafin, sebagai pihak yang senantiasa dirugikan oleh sistem Paganisme Arab Quraish. Tentunya orang seperti ibn Maktum bisa lebih leluasa untuk mendatangi rumah seperti itu. Nah! pada saat pertemuan sedang berlangsung antara Nabi dan Pembesar-pembesar Quraish itulah ibn Maktum datang bergabung dengan mereka, keadaan tiba-tiba seperti ini merisaukan dan membuat Bangsawan Quraish tak mampu untuk mengelaknya, sampai pada situasi di mana mereka masih juga bisa menahan dan menyembunyikan rasa kesalnya. Namun ketika ibn Maktum menyela mereka yang sedang terlibat pembicaraan itu, benar-benar membuat salah seorang dari mereka itu tak lagi bisa menyembunyika rasa sakit hatinya dan dengan raut wajah yang masam dan cemberut memalingkan mukanya dari forum atau mungkin dari tatapannya yang selama beberapa saat ini memang ditujukan pada orang yang sedari tadi memang tidak diharap kehadirannya itu. Lalu Mengapa mereka tidak juga mengusir ibn Maktum seperti yang biasa mereka lakukan ketika ada fakir yang datang mendekati mereka. Kali ini mereka lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa karena sang tuan rumah Nabi sendiri tidak mengambil tindakan apapun semisal mengusirnya, jelas mereka sadari bersama bahwa sikap seperti itu mustahil dilakukan oleh Muhammad Rasulullah. dengan kata lain bahwa otoritas dan kekuasaan mendatangkan dan mengusir orang asing yang datang ke rumah seseorang adalah menjadi hak penuh dari pemilik rumah itu sendiri. Nah kini mereka hanya bisa bermuka masam dan memalingkan mukanya.[] Wallahua’lam bi sawwab

Jumat, 01 April 2011

Qobla alimtihan tawassulan

istighosah bersama wali murid dan dewan guru

Prestasi

Sederet prestasi yang diraih siswa-siswi smp takhasus antara lain:
1.Juara dua dan tiga kiroah tartil pa pi kab. banyumas th 2009 ulil albab dan soningah
2.juara dua pramuka kecamatan 2009
3. juara tiga qiroah kawedanan ajibarang 2011 ahmad saefudin


semoga kedepan meningkat dan banyak yang berprestasi amiin

alumni

Alumni takasus lulusan th 2010 yang meneruskan ke sekolah tingkat atas yaitu:
1.Ahmad ibnu fadilah di smk maarif nu kembaran sambil belajar di pesantren
2.Mega wahyu utami di smk maarif nu kembaran sambil belajar di pesantren
3.Leni sriutami di smk maarif nu kembaran sambil belajar di pesantren
4.Astining dewi di smk maarif nu kembaran sambil belajar di pesantren
5.Yudi handoko di smk maarif nu 1 ajibarang
6.Agus rifai di smk maarif nu 1 ajibarang
7.Diana safitri smk jakarta

kesiswaan

BIMBINGAN KONSELING
Bimbingan dan Penyuluhan di smp takhassus alquran pekuncen adalah salah satu bagian dalam proses pendidikan di smp yang ditangani oleh petugas khusus untuk membantu masing-masing siswa, agar mereka dapat mencapai tujuan pendidikanya secara efektif. Tugasnya antara lain :

Membantu pimpinan seolah dan staf pengajar dalam menciptakan suasana sekolah yang menunjang kelancaran belajar mengajar, memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada para siswa, dan sebagainya, dan mengumpulkan informasi-informasi dari masyarakat yang bermanfaat bagi siswa agar lebih berprestasi dalam kegiatan belajar.

Adapun pelaksanaan tugas-tugas itu antara lain bersifat :

A. Preventif : yaitu usaha-usaha supaya jangan sampai terjadi keslitan pada siswa, baik secara individu maupun kelompok.

Tugasnya meliputi :

* Memberi orientasi kepada siswa baru, yaitu dengan memberikan informasi tentang keadaan dan tata tertib sekolah.
* Mengadakan buku pribadi yang memuat keterangan tantang diri siswa.
* Memberi penyuluhan tenang cara belajar yang baik.
* Mengadakan diskusi siswa, baik secara individual maupun kelompok tentang kesulitan-kesulitan sekolah.
* Mengadakan hubungan antara siswa dengan guru dengan menggunakan sarana kotak masalah.
* Mengadakan hubungan dengan orang tua/wali siswa demi kemajuan anaknya.
* Mengadakan hubungan dengan staf pengajar maupun instansi-instansi lain, demi kemajuan siswa di sekolah.
* Mengadakan penyuluhan untuk membangkitkan semangat belajar, agar dapat menyesuaikan diri dan membuat keputusan yang tepat.
* Kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan Bimbingan karir dan Penyuluhan termasuk kegiatan OSIS, Pramuka, PMR, dan ekstra kurikuler lainnya.



B. Kuratif : yaitu usaha dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh seorang siswa maupun kelompok siswa.

Usaha ini antara lain :

* Memanggil siswa untuk berkonsultasi mengenai berbagi penyebab masalah kegagalan dalam mengatasi : masalah prestasi belajar, masalah kerajinan, masalah tingkah laku dan masalah lainnya.
* Mengadakan kunjungan rumah guna memberi informasi kepada orang tua/wali tentang anaknya, dan meminta kerja sama orang tua/wali dalam ikut membantu pemecahan masalah anaknya di rumah maupun di sekolah.
* Bagi siswa yang terlalu parah keadaannya, diambil langkah-langkah : dilaporkan kepada guru yang bersangkutan, wali kelas, kepala sekolah dan orang tua/wali, agar mendapat perhatian khusus dan penyelesaian yang tepat.
* Memberikan bimbingan khusus kepada siswa yang nilainya kurang serta prestasinya jelek, agar merubah cara-cara belajarnya. Juga siswa yang berprestasi tinggi diberi bimbingan khusus pula.

Semua dapat berhasil dengan baik, bila ada kerja sama yang baik antara staf pembimbing, staf pengajar dan orang tua/wali murid. Kalau ada hal-hal yang kurang beres cepat memberi informasi kepada pihak-pihak yang dapat membantu.
Yang paling penting ialah adanya contoh dan teladan oleh semua pihak baik guru, staf pimpinan, terutama orang tua/wali dan keluarga siswa sendiri. Sebab apa yang dapat mempengaruhi siswa tidak hanya sekolah, melainkan juga rumah tangga dan masyarakat, maka sumber-sumber pendidikan yang perlu kita terapkan dan perlu kita arahkan sedapat mungkin juga berada di sekolah, di rumah dan di dalam masyarakat.

mapel aswaja

Sunnah dan Bi'dah
oleh mukhsin,lc (curugawu)
Sering kali terdengar oleh kita perdebatan seputar hal bid'ah dan sunnah. bahkan perdebatan ini menjurus pada perpecahan. Padahal tidak harus demikian, justru perbedaan itu adalah rahmat, asalkan kita mau berlapang dada. Oleh karenanya menjadi penting bagi umat muslim untuk mengetahui apakah bid'ah itu, dan bid'ah seperti apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan?

Menurut para ulama’ bid’ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Di antara para ulama’ yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori ini adalah:
1. Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Jadi bid’ah yang mencocoki sunah adalah mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunah adalah madzmumah.
Bid’ah hasanah/mahmudah dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah bid’ah wajib seperti kodifikasi (pengumpulan) al-Qur’an pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan pengumpulan hadits ke dalam kitab-kitab besar pada zaman sesudahnya.
Sedangkan bid’ah hasanah yang kedua adalah bid’ah sunah, seperti shalat tarawih 20 rakaat pada zaman khalifah Umar bin Khathab.
2. Imam al-Baihaqi
Bid’ah menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid’ah madzmumah dan ghairu madzmumah. Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ adalah bid’ah mahmudah atau ghairu madzmumah. Sedangkan bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah bid’ah yang tidak memiliki dasar syar’i sama sekali.
3. Imam Nawawi
Bid’ah menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua; bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah.
4. Imam al-Hafidz Ibnu Atsir
Ibnu Atsir juga membagi Bid’ah menjadi dua; bid’ah yang terdapat petunjuk nash (teks al-Qur’an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk nash di dalam¬nya.
Jadi setiap bentuk bid’ah yang menyalahi kitab dan sunah adalah tercela dan harus diingkari. Akan tetapi bid’ah yang mencocoki keumuman dalil-dalil nash, maka masuk dalam kategoti terpuji.
Lalu bagaimana dengan hadits
كُلُّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ
Setiap bid’ah adalah sesat.
Berikut ini adalah pendapat para ulama’:
1. Imam Nawawi
Hadits di atas adalah masuk dalam kategori ‘am (umum) yang harus ditakhshish (diperinci).
2. Imam al-Hafidz Ibnu Rajab
Hadits di atas adalah dalam kategori ‘am akan tetapi yang dikehendaki adalah khash (‘am yuridu bihil khash). Artinya secara teks hadits tersebut bersifat umum, namun dalam pemaknaannya dibutuhkan rincian-rincian.
Ada sebagian ulama’ yang membagi bid’ah menjadi lima bagian sebagai berikut,
1. Bid’ah yang wajib dilakukan : contohnya, belajar ilmu nahwu, belajar sistematika argumentasi teologi dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang-orang atheis dan orang-orang yang ingkar kepada agama Islam, dll.
2. Bid’ah yang mandub (dianjurkan): contohnya, adzan menggunakan pengeras suara, mencetak buku-buku ilmiah, membangun madrasah, dan lain-lain.
3. Bid’ah yang mubah : contohnya, membuat hidangan makanan yang berwarna warni, dan sejenisnya.
4. Bid’ah yang makruh : contohnya, berlebihan dalam menghias mushaf, masjid dan sebagainya.
5. Bid’ah yang haram: yaitu setiap sesuatu yang baru dalam hal agama yang bertentangan dengan keumuman dalil syar’i. misalnya solat isya tujuh rekaat dll.
(disarikan dari buku Tradisi Amaliah NU dan Dalilnya, penerbit LTM (Lembaga Ta'mir Masjid) PBNU

Kamis, 31 Maret 2011

kuliah umum

kyai haji Drs. Nashrulloh M.A. ( rektor IAIG Cilacap )
sedang memberi kuliah umum di SMP Takhassus Al Quran Pekuncen

2010

ujian sekolah

Nilai bahasa inggris paling tinggi 9,20 siapa yana mau study banding silahkan ke sekolah ini


soa-soal mapel un

SOAL UN SMP

buat adik-adik yang mau ujian nasional rumus-rumus fisika dapat anda download disini

download rumus fisika smp

Soal – soal prediksi UN
1. Bahasa Indonesia
2. IPA
3. Bahasa Inggris
4. Matematika

Soal-soal UN dari Tahun 1988 sampai dengan 2005 untuk adik-adik dapat di download di link di bawah ini :

1. Bahasa Indonesia
2. Bahasa Inggris
3. Matematika
4 IPA

Rabu, 30 Maret 2011

un 2011

belajar lulus.

Kegiatan Ektra kulikuler

ektrakulikuler yang ada di smp takasus yaitu pramuka, beladiri, seni khadroh , ontologi kitab kuning, komputer, elekto,pmr dan sablon


siswa sedang diklat pmr se kawedanan ajibarang

Selasa, 29 Maret 2011

gedung dan mahasiswa

gedung smp takhasus baru ada empat lokal tampak dosen alumni unsud sedang memberi pengarahan.Sekolah ini perlu bantuan pemerintah dan masyarakat


Sekolah tertinggi

ini adalah blog smp takhassus Al quran pekuncen,sekolah yang berada di puncak di bawah gunung yang berada di tumiyang yang berdiri tahun 2000 sudah terakreditasi tahun 2007 dan lulusannya sudah banyak yang bekerja di berbagai instansi sekolah ini juga menyediakan asrama bagi yang ingin mendalami lmu agama yang di ajarkan pada sore hari dan malam hari dan ada kekhususan bagi para penghafal alquran ,sekarang dewan asatizd sedang berusaha keras untuk menghasilkan lulusan yang betul-betul cakap dalam bidang umum maupun agama .Dan terakhir tentunya siapa saja yang mengunjungi blog ini silahkan kirim saran untuk perkembangan dan tampilan yang menarik akun inisiapa tahu karena saran anda nanti akan menjadi sekolah unggulan and favorit, atas masukannya kami sampaikan terima kasih .